Pendidikan iman anak merupakan pondasi Gereja
dalam membentuk dan mendirikan bangunan iman Gereja. Tidak perlu kita pungkiri,
permasalahan pendidikan katolik menjadi masalah yang perlu kita hadapi bersama
namun sayang kurang sentuhan dan perhatian. Mungkin sebegitu pelik dan besarnya
permasalahan pendidikan iman ini sehingga kita enggan menyentuhnya.
Hal kurangnya pendidikan iman anak terlihat tidak
saja di rumah, di tengah keluarga, tetapi juga di sekolah, bahkan di sekolah
Katolik, dan juga di paroki. Seandainya sudah ada sekalipun, patutlah kita
pertanyakan, apakah sudah cukup memadai, terutama jika ada cukup banyak umat
Katolik yang meninggalkan Gereja Katolik.
1. Kurangnya pendidikan iman Katolik di dalam
keluarga
Dewasa ini ada banyak anak- anak yang menganggap
rumah hanya sebagai tempat makan dan tidur. Kedua orang tua sibuk dengan urusan
mereka masing-masing, sehingga tidak ada waktu yang cukup untuk berkomunikasi
dengan anak-anak. Jika berkomunikasi tentang hal-hal yang sehari- hari saja
sudah kurang, apalagi pembicaraan tentang Tuhan dan iman Katolik. Kurangnya
perhatian dari orang tua ini mengakibatkan anak-anak mencari kesenangannya
sendiri, asyik dengan dunia mereka sendiri, dan mencari pemenuhan kebutuhan
mereka untuk diperhatikan dan dikasihi dengan cara mereka sendiri. Sebagian
mungkin mendapatkannya dari permainan game di komputer/ internet, chatting
di FB (Face book), BBM (BlackBerry Messenger), nonton TV atau
jalan- jalan/ shopping di Mall. Anak- anak dewasa ini berkembang menjadi
pribadi yang cenderung individualistik daripada berorientasi komunal dan
berinteraksi langsung dengan orang- orang di sekitar mereka. Atau, kesenangan
sesaat dan kehidupan hura- hura yang serba instan menjadi pilihan banyak anak
muda sekarang ini. Soal iman? Bagi mereka sepertinya hanya prioritas kedua,
atau bahkan bahkan tidak menjadi prioritas sama sekali. Soal Tuhan? Mungkin
kurang menarik perhatian mereka. Dalam kondisi ini, orang tua seolah tak
berdaya, dan akhirnya menyerah sambil berkata, ‘Jaman sekarang memang berbeda
dengan jaman dulu…. Sekarang terserah anaknya saja deh, kita orang tua hanya
dapat mendoakan…. ’
Suatu ironi, sebab seharusnya tugas utama orang
tua adalah mendidik anak- anak agar mereka mengenal dan mengasihi Allah, dan
karena mengasihi Allah, mereka dapat mengasihi sesama; dan dengan demikian
orang tua menghantar anak- anak mereka ke Surga. Jadi sesungguhnya pembentukan
karakter anak sampai menjadikan mereka pribadi- pribadi yang mengutamakan
Allah, merupakan tugas orang tua. Sejauh mana hal ini dilakukan oleh para orang
tua, jika sehari- harinya anak- anak menghabiskan sebagian besar waktu di depan
komputer/ TV atau alat- alat komunikasi lainnya, tanpa atau sedikit sekali berkomunikasi
dengan orang tua? Bagaimana orang tua dapat menampakkan wajah Tuhan bagi anak-
anak, jika sehari- harinya anak- anak jarang melihat wajah orang tua mereka?
Atau jika orang tua ada di rumah, apakah mereka memberikan perhatian khusus
kepada anak- anak, ataukah malah sibuk dengan urusan mereka sendiri? Sejauh
mana orang tua mengarahkan anak- anak, sehingga di tengah kesibukan mereka,
anak- anak tetap mau berdoa dan membaca Kitab Suci?
2. Kurangnya pendidikan iman Katolik di sekolah
Pendidikan iman Katolik juga tidak mudah diperoleh
di sekolah-sekolah, baik di sekolah negeri maupun juga di sekolah- sekolah
Katolik sendiri. Adanya kondisi pluralitas di masyarakat kita menjadikan
sekolah-sekolah Katolik sepertinya kehilangan jati diri dalam menyampaikan
ajaran iman Katolik. Pendidikan iman Katolik umumnya diidentikkan dengan mata
pelajaran Agama sekali seminggu (lebih parahnya pelajaran agama katolik
disamakan dengan pelajaran religiusitas), dan diadakannya Misa Kudus bagi semua
murid sebanyak sebulan sekali. Dari pengalaman kami pribadi, penekanan yang
lebih ditekankan adalah perbuatan baik, dan hanya sedikit pembahasan tentang
iman Katolik. Akibatnya anak- anak tidak sungguh- sungguh mengenal iman
Katolik, atau mengenalnya hanya sebatas hafalan dalam pelajaran Agama, namun
kurang menangkap esensinya sebagai yang mendasari segala perbuatan mereka.
Pengenalan akan Kristus relatif minim, sehingga anak- anak tidak atau kurang
mempunyai hubungan yang pribadi dengan Kristus. Pengenalan tentang arti Gereja juga
kurang memadai, sehingga mereka tidak merasa sebagai bagian di dalamnya dan
tidak berkeinginan untuk membaktikan diri membangun Gereja demi kasih mereka
kepada Kristus. Dalam kondisi semacam ini tak mengherankan jika angka panggilan
imamat atau kehidupan religius merosot.
Pendidikan iman yang komprehensif juga nampaknya
masih merupakan ‘barang langka’ di tanah air. Artinya, pendidikan iman Katolik
yang terintegrasi dengan semua mata pelajaran yang lain, mulai dari sejarah
umat manusia, ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial, bahasa Inggris
dan bahasa Indonesia, kesenian, dst. Para guru juga mempunyai tanggung jawab
untuk tidak hanya menjadi pengajar ilmu untuk mengisi otak, namun juga teladan
iman untuk mengisi hati para murid mereka. Memang untuk melakukan hal- hal ini
tidak mudah, dan memerlukan kerja keras dari pihak pengajar dan koordinator
kurikulum di sekolah, namun jika dilakukan, sesungguhnya sangat baik.
3. Kurangnya pendidikan iman Katolik di paroki
Di paroki, pendidikan iman Katolik pada anak-anak
juga mempunyai permasalahannya sendiri. Tantangan yang dihadapi oleh para orang
tua dan guru di sekolah, sebenarnya juga dihadapi oleh para pengajar/katekis di
paroki. Bagaimana memperkenalkan Kristus dan misteri Paska-Nya kepada anak-anak
se-efektif mungkin, menjadi PR (Pekerjaan rumah) para guru Bina Iman/katekis
dan juga para imam di paroki. Bina Iman bukan sekedar tempat berkumpulnya anak-
anak untuk bermain dan mewarnai, melainkan sarana untuk menyampaikan pengajaran
iman yang dapat masuk di dalam pikiran dan hati anak- anak, sehingga mereka
dapat bersuka cita dan mensyukuri karunia iman yang Tuhan sudah berikan kepada
mereka.
Dewasa ini tenaga pengajar Bina Iman ataupun
katekisasi secara umum adalah tenaga sukarela, dan banyak di antaranya yang
tidak secara khusus dibekali dengan latar belakang sebagai pengajar iman
Katolik. Dengan demikian, sangatlah logis jika memang para katekis membutuhkan
buku panduan yang dapat dijadikan acuan untuk mengajar. Di beberapa pertemuan
guru-guru Bina Iman, evaluasi yang disampaikan antara lain menyebutkan
kesulitan mereka untuk memperoleh bahan-bahan pengajaran (yang lengkap: dengan
kisah, pembahasan, permainan, gambar, nyanyian, dari kisah- kisah Perjanjian
Lama dan Perjanjian Baru) untuk disampaikan kepada anak- anak. Umumnya mereka
harus ‘meracik’ sendiri bahan pengajaran di antara tim pengajar. Dengan
demikian, diperlukan waktu untuk membicarakannya dan mempersiapkannya, dan ini
tidak selamanya hal ini mudah bagi para relawan pengajar, di tengah- tengah
kesibukan mereka dalam pekerjaan/ keluarga.
Selain itu, jika diperhatikan, terdapat waktu jeda
bagi pembinaan iman anak, yaitu periode antara waktu setelah Komuni Pertama
sampai menjelang penerimaan Sakramen Penguatan/ Krisma. Ada beberapa paroki
yang telah mengadakan Bina Iman Remaja, atau merekomendasikan anak- anak ini
untuk bergabung dengan dalam komunitas Putera/i Altar. Namun kita mengetahui
bahwa hanya sedikit prosentase jumlah anak- anak dalam paroki yang tergabung
dengan kegiatan ini. Maka kelompok mayoritas anak- anak di paroki tidak
‘tertangani’ pendidikan imannya.
Dewasa ini kitapun perlu memberikan perhatian
kepada anak- anak Katolik yang bersekolah di sekolah- sekolah National plus,
yang juga kurang mendapat pengajaran tentang iman Katolik. Prosentase jumlah
anak- anak ini nampaknya terus menanjak setiap tahunnya, dan banyak di antara
mereka mempunyai kesulitan untuk bergabung dalam kegiatan Bina Iman di paroki,
antara lain karena bahasa yang digunakan dalam proses katekese tersebut adalah
bahasa Indonesia, sedangkan anak- anak ini lebih terbiasa menggunakan bahasa
Inggris untuk berkomunikasi.
Bagaimana seharusnya?
Konsili Vatikan II dalam Deklarasi tentang Pendidikan Kristiani (Gravissimum
Educationis) menyatakan tujuan pendidikan secara umum, dan pendidikan
Kristiani secara khusus, demikian:
1. Secara umum
“Tujuan pendidikan dalam arti sesungguhnya ialah:
mencapai pembentukan pribadi manusia dalam perspektif tujuan
terakhirnya dan demi kesejahteraan kelompok-kelompok masyarakat, di
mana ia sebagai manusia, adalah anggotanya, dan bila sudah dewasa ia akan
mengambil bagian menunaikan tugas kewajiban di dalamnya.”
Tujuan terakhir manusia yang dimaksud di sini
adalah kehidupan kekal bersama Allah di Surga. Dengan demikian, pendidikan
secara umum harus mengarah kepada pembentukan (formation) pribadi
manusia secara utuh, baik dari segi fisik, moral, intelektual agar
anak- anak dapat menjadi manusia yang bertanggung jawab di dalam menghadapi
kehidupan ini, agar kelak dapat masuk dalam Kerajaan Surga.
2. Secara khusus
a. Pendidikan Kristiani bertujuan untuk
pendalaman misteri keselamatan, iman, makna kekudusan, memberi kesaksian
tentang pengharapan Kristiani.
“Pendidikan Kristiani itu
tidak hanya bertujuan pendewasaan pribadi manusia seperti telah diuraikan,
melainkan terutama hendak mencapai, supaya mereka yang telah dibaptis langkah
demi langkah semakin mendalami misteri keselamatan, dan dari
hari ke hari makin menyadari kurnia iman yang telah mereka terima;
supaya mereka belajar menyembah Allah Bapa dalam Roh dan kebenaran (lih. Yoh 4:23), terutama dalam perayaan
Liturgi; supaya mereka dibina untuk menghayati hidup mereka sebagai
manusia baru dalam kebenaran dan kekudusan yang sesungguhnya
(Ef 4:22-24); supaya dengan demikian mereka mencapai kedewasaan penuh, serta
tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus (lih. Ef 4:13), dan
ikut serta mengusahakan pertumbuhan Tubuh Mistik. Kecuali itu hendaklah umat
beriman menyadari panggilan mereka, dan melatih diri untuk memberi
kesaksian tentang harapan yang ada dalam diri mereka (lih. 1Ptr 3:15)
serta mendukung perubahan dunia menurut tata-nilai Kristiani …”
b. Pendidikan
Kristiani harus menanamkan nilai- nilai esensial di dalam hidup manusia
“Bahkan di tengah kesulitan-
kesulitan karya pendidikan, kesulitan- kesulitan yang kadang lebih besar dewasa
ini, para orang tua harus dengan yakin dan berani mendidik anak- anak mereka tentang
nilai- nilai esensial di dalam hidup manusia. Anak- anak harus tumbuh
dengan sikap yang benar tentang kemerdekaan [ketidak- terikatan] terhadap
barang- barang materi, dengan menerapkan gaya hidup yang sederhana dan
bersahaja, yakin bahwa “manusia itu lebih berharga karena apa adanya dia
daripada karena apa yang dia miliki.” Adalah suatu permenungan, sejauh manakah
hal- hal yang disebutkan di atas dilakukan di dalam keluarga, di sekolah dan di
paroki?
Pendidikan iman Katolik di dalam keluarga
a. Orang tua adalah pendidik pertama dan utama
anak- anak
“Karena orang tua telah
menyalurkan kehidupan kepada anak-anak, orang tua terikat kewajiban amat serius
untuk mendidik anak-anak mereka. Maka orang tualah yang
harus diakui sebagai pendidik yang pertama dan utama bagi anak- anak
mereka”. Dengan demikian, orang tua harus menyediakan waktu bagi anak-
anak untuk membentuk mereka menjadi pribadi- pribadi yang mengenal dan
mengasihi Allah. Kewajiban dan hak orang tua untuk mendidik anak- anak mereka
tidak dapat seluruhnya digantikan ataupun dialihkan kepada orang lain.
Orang tua sebagai pendidik
utama dalam hal iman kepada anak- anak berarti orang tua harus secara
aktif mendidik anak- anak dan terlibat dalam proses pendidikan anak- anaknya.
Orang tua sendiri harus mempraktekkan imannya, berusaha untuk
hidup kudus, dan terus menerapkan ajaran iman dalam kehidupan keluarga di rumah.
Ini adalah sangat penting, agar anak melihat bahwa iman itu bukan hanya untuk
diajarkan tetapi untuk dilakukan, dan diteruskan lagi kemudian, jika anak- anak
sendiri membentuk keluarga di kemudian hari.
Sebagai pendidik utama, maka
orang tua harus terlibat dalam proses pendidikan yang dilakukan oleh sekolah,
dan orang tua bertugas membentuk anak- anaknya. Orang tua harus
mengetahui apa yang sedang dipelajari oleh anak- anaknya di sekolah, buku- buku
yang mereka baca, bagaimana sikap dan tabiat anaknya di sekolah, siapakah
teman- teman anak- anaknya, dan sebagainya. Tugas dan tanggungjawab ini ini
tidak dapat dialihkan ataupun dipasrahkan kepada pembantu rumah tangga ataupun
guru les. Orang tua tidak dapat memusatkan perhatian untuk urusan dan pekerjaan
mereka sendiri, dan kurang mempedulikan atau kurang mau terlibat dalam
pendidikan anak- anak. Mengirim anak- anak untuk les pelajaran, atau
menyekolahkan anak di sekolah national plus, tidak menjamin pembentukan
karakter anak dengan baik.
Demikian pula dalam
hal iman. Banyak orang tua berpikir, asal sudah mengirimkan anak ke Bina Iman,
maka tugasnya selesai. Pemikiran sedemikian sungguh keliru. Guru- guru di
sekolah, guru les ataupun guru Bina Iman hanyalah membantu orang tua, namun
orang tua tetaplah yang harus melakukan tugasnya sebagai pendidik utama. Mendidik anak dalam hal iman sesungguhnya
tidak sulit, karena dapat dimulai dari hal-hal sederhana. Namun dibutuhkan
komitmen dan pengorbanan dari pihak orang tua, misalnya: berdoa bersama anak-
anak dan membacakan kisah Kitab Suci kepada mereka setiap malam, membawa anak-
anak ikut Misa Kudus dan sesudahnya menjelaskan kepada anak- anak maknanya,
mendorong anak- anak agar mempraktekkan suatu ajaran Sabda Tuhan, memberi
koreksi jika anak berbuat salah namun setelahnya tetap merangkul dengan kasih,
dst.
Orang tua juga harus
mempunyai perhatian kepada pengaruh media massa ke dalam kehidupan anak- anak.
Terlalu banyak menonton TV tidak memberikan efek yang baik pada anak, apalagi
jika anak- anak menonton TV tanpa pendampingan dari orang tua. Demikian pula
dengan terlalu banyak bermain video game, apalagi jika permainannya bersifat
kekerasan yang sadis, seperti tembak- tembakan, pembunuhan, dst, yang secara
tidak langsung merangsang sifat- sifat agresif pada anak- anak, seperti
kemarahan, kekerasan, tidak mau mengalah, dst. Tak kalah seru, adalah kebiasaan
ber FB (Face book) di kalangan anak- anak remaja. Jika memungkinkan,
silakan orang tuapun ber FB, bukan untuk memata- matai anak, namun untuk
mengetahui sekilas lingkungan pergaulan anak. Ada resiko yang umum terjadi,
yaitu jika anak terlalu banyak ‘bermain’ sendiri dengan komputer, TV, atau
sejenisnya, maka lama kelamaan ia menjadi tidak terbiasa untuk berinteraksi
dengan orang lain. Ia menjadi kurang luwes di dalam pergaulan, kurang dapat
membawa diri, dan terlalu berpusat kepada diri sendiri. Tidak berarti bahwa TV,
game internet dan FB memberikan efek buruk semuanya. Efek negatif itu terjadi
jika yang ditonton, atau yang dimainkan tidak sesuai dengan ajaran iman dan
moral; atau yang diajak berkomunikasi adalah orang- orang yang tidak membangun
iman, atau malahan menjerumuskan mereka; atau jika hal menonton TV dan bermain
komputer tersebut sampai menyita hampir semua waktu luang. Mengapa? Sebab jika
ini yang terjadi, hati dan pikiran anak tidak lagi terarah kepada Tuhan dan
Kerajaan-Nya.
b. Orang tua berkewajiban untuk menyampaikan
pendidikan dalam hal nilai- nilai esensial dalam hidup manusia.
Dari orang tualah anak- anak
belajar akan nilai- nilai yang esensial dan terpenting di dalam hidup. Nilai-
nilai esensial ini menurut Paus Yohanes Paulus II dalam Pengajaran
Apostoliknya, Familiaris Consortio, adalah:
1. keadilan yang menghormati martabat setiap
manusia, terutama mereka yang termiskin dan yang paling membutuhkan bantuan;
2. hukum kasih: memberikan diri untuk orang
lain dan memberi adalah suka cita,
3. pendidikan seksualitas yang menyangkut
keseluruhan pribadi manusia, baik tubuh, emosi maupun jiwa;
4. pendidikan tentang kemurnian (chastity);
5. pendidikan moral yang menjamin anak- anak
bertanggungjawab.
c. Orang tua harus mengusahakan suasana kasih di
rumah
Maka para orang tua harus
menciptakan suasana di rumah yang penuh kasih dan penghormatan kepada Tuhan dan
sesama, sehingga pendidikan pribadi dan sosial yang menyeluruh bagi anak- anak
dapat ditumbuhkan. Kasih orang tua adalah dasar dari pendidikan anak, sehingga
kasih itu harus menjiwai semua prinsipnya, disertai juga dengan nilai- nilai
kebaikan, pelayanan, tidak pilih kasih, kesetiaan dan pengorbanan. Dalam hal
ini, komunikasi antara anak dan orang tua adalah sangat penting, sebab tanpa
komunikasi akan sangat sulit menciptakan suasana yang penuh kasih di dalam
keluarga.
d. Keluarga harus
menjadi sekolah pertama untuk menanamkan kebijakan Kristiani dan orang tualah
yang memberikan teladan.
Keluarga harus menjadi
sekolah yang pertama untuk menanamkan nilai- nilai dan kebajikan Kristiani,
seperti: memaafkan kesalahan orang lain, belajar meminta maaf jika berbuat
salah, saling menghormati, saling berbagi, saling menolong, saling menghibur
jika ada yang kesusahan, saling memperhatikan terutama kepada yang lemah,
sakit, dan miskin, saling mengakui kelebihan dan kekurangan tiap- tiap anggota
keluarga, rela berkorban demi kebaikan orang lain, dst. Orang tua selayaknya memberikan
teladan dalam nilai- nilai Kristiani tersebut, dan bukan hanya dengan
perkataan, tetapi terlebih dengan perbuatan. Anak- anak akan dengan lebih cepat
belajar melalui teladan perbuatan orang tua daripada dari apa yang diajarkannya
melalui perkataan saja.
e. Pengajaran tentang iman dalam keluarga dapat
dilakukan di setiap kesempatan dan dapat dikemas menarik
Pengajaran tentang Allah dan
perintah- perintah-Nya ini tidak harus diberikan dalam bentuk ‘kuliah’ bagi
anak, yang pasti membosankan, tetapi hendaknya dikemas dalam bentuk yang lebih
hidup dan menarik, sesuai dengan umur anak. Quiz/ bermain tebak- tebakan, ayah
atau ibu membacakan Kitab Suci bergambar, atau sama- sama menonton DVD rohani
dan dilanjutkan dengan diskusi singkat dapat menjadi suatu pilihan. Di samping
itu, jangan dilupakan bahwa setiap kejadian yang paling sederhana sekalipun
dapat dijadikan momen untuk pengajaran tentang iman. Contohnya pada saat anak
jatuh ketika belajar bersepeda, dapat dijadikan momen untuk mengajarkan betapa
kita sebagai manusia dapat jatuh dalam kesalahan dan dosa, namun Tuhan dapat
menolong kita sehingga kita dapat bangkit lagi, sebelum akhirnya kita berhasil.
Atau contoh lain, pada saat ada tetangga/ saudara yang membutuhkan pertolongan,
itulah saatnya kita sekeluarga pergi menjenguk dan menghibur mereka.
Jika anak telah bertumbuh
remaja, kemungkinan pengajaran tentang iman dapat dilakukan dengan lebih
mendalam, misalnya, sharing tentang pengalaman dalam hari itu, tentang latihan
kebajikan tertentu yang disepakati bersama sehari sebelumnya, misalnya tentang
kesabaran. Dengarkan pengalaman anak dan ceritakan juga pengalaman kita sebagai
orang tua sepanjang hari itu untuk menjadi orang yang sabar. Baik jika sharing
ini ditutup dengan doa. Jika hal ini terus konsisten dilakukan, baik
orang tua maupun anak sama- sama bertumbuh dalam kekudusan.
f. Doa bersama sekeluarga merupakan hal
yang harus dilakukan
Orang tua harus mengusahakan
agar dapat melakukan doa bersama sekeluarga setiap hari, entah pada pagi hari
atau sore hari. Mother Teresa pernah mengatakan, “A family that
prays together, stays together” (Keluarga yang berdoa bersama, tetap
bersatu bersama). Doa bersama juga dilakukan pada saat sebelum dan sesudah
makan. Doa bersama dapat berupa Ibadat Harian, doa spontan, doa rosario, atau
doa kaplet Kerahiman Ilahi, dan seterusnya, dan dapat juga dinyanyikan. Doa
dapat dilanjutkan dengan renungan Kitab Suci, dan anak- anak dan orang tua
dapat melakukan sharing iman sesuai dengan ayat- ayat yang direnungkan.
g. Orang tua mengarahkan anak- anak untuk bergabung ke dalam
Gereja
Melalui keluargalah anak- anak secara berangsur- angsur diarahkan ke
dalam persekutuan dengan saudara- saudari seiman yang lain di dalam Gereja.
Orang tua berkewajiban untuk membawa anak- anak untuk turut mengambil bagian
dalam kehidupan Gereja, baik dalam ibadah di paroki atau di lingkungan, ataupun
kegiatan rohani dalam komunitas- komunitas Gereja. Persaudaraan sesama umat Katolik di dalam Kristus,
harus juga diperkenalkan sejak dini kepada anak- anak. Orang tua juga harus
memberikan dorongan kepada anak- anak untuk mengambil bagian dalam sakramen-
sakramen Gereja, terutama Ekaristi dan Tobat.
Pendidikan iman Katolik di sekolah
Sekolah melaksanakan peran
yang penting di dalam membantu para orang tua mendidik anak- anak mereka. Dalam
hal ini, sekolah tidak hanya bertugas untuk membantu pertumbuhan intelektual
anak, tetapi juga kemampuan untuk bertindak dengan bijak, memilah hal- hal yang
baik dan yang buruk, meneruskan tradisi yang baik dari generasi sebelumnya, dan
untuk mempersiapkan anak- anak untuk kehidupan sesuai dengan profesi mereka di
masa datang.
Berikut ini adalah masukan
tentang “Apakah yang menjadikan suatu sekolah adalah Sekolah Katolik?” yang
kami peroleh dari Maria Brownell, salah seorang kontributor situs Katolisitas.
Maria berdomisili di Wisconsin, Amerika Serikat, dan ia aktif terlibat dalam
penyusunan kurikulum salah satu sekolah Katolik di sana:
“Apakah yang menjadikan suatu sekolah
adalah Sekolah Katolik?
1. Sekolah Katolik adalah sekolah yang
bertujuan untuk membentuk anak menjadi kudus
Tujuan dari sekolah tersebut
adalah tidak hanya mengajar, melainkan juga membentuk anak- anak menjadi
pribadi yang utuh. Sekolah tidak hanya harus mengajar mereka secara akademis,
tetapi juga untuk harus bekerja keras untuk membawa mereka kepada kekudusan.
Manusia terdiri atas tubuh dan jiwa, maka sekolah Katolik yang baik harus tidak
hanya mengisi ‘kepala’ murid- muridnya dengan informasi, tetapi harus juga
mengisi hati murid- muridnya dengan iman Katolik dan kasih. Sekolah Katolik
harus menanamkan dalam hati murid- muridnya, hati yang mengasihi dan melayani:
pelayanan kepada sesama, kepada negara dan kepada Tuhan.
2. Semua guru/pendidik di sekolah harus
Katolik dan bekerja sama dengan para orang tua murid untuk mendidik anak-anak,
terutama dalam hal iman.
1. Semua guru di sekolah harus Katolik dan
mereka harus mengenal/ mengetahui tentang iman Katolik dengan baik, dan
melaksanakan ajaran iman mereka. Mereka harus percaya, setuju dan mengasihi
semua ajaran Katolik. Guru- guru juga harus mengejar kekudusan dalam kehidupan
mereka sehari- hari.
2. Ideal jika sekolah mempunyai juga imam
pembimbing rohani yang turut aktif membina sekolah tersebut. Atau suster
(biarawati) yang juga dapat mengajar para murid. Imam, biarawan ataupun
biarawati yang mengajar di sekolah -misalnya untuk mata pelajaran Agama atau
mata pelajaran lain sesuai dengan keahlian masing- masing- dapat menjadi tokoh
panutan bagi murid- murid dan membantu mereka untuk semakin meneladani Kristus.
3. Para guru juga harus menerapkan ajaran
iman Katolik di dalam pengajaran mereka di dalam setiap mata pelajaran. Mereka
harus mencari kesempatan- kesempatan untuk meng-integrasikan iman dalam
pengajarannya kepada murid- murid.
4. Setiap murid harus dihargai martabatnya
sebagai anak Allah, dan sebaliknya semua murid harus menghormati dan menaati
para gurunya.
5. Sekolah harus bersama-sama dengan orang
tua mendidik anak- anak dan membentuk karakter mereka, sebab pada akhirnya,
orang tua-lah yang merupakan pendidik pertama dan utama dalam hal iman bagi
anak- anak. Orang tua harus juga mendukung para guru, dan tidak cenderung
mempunyai sikap curiga kepada guru yang memberikan koreksi ataupun teguran
kepada anaknya.
3. Lingkungan di dalam sekolah harus
Katolik:
1. Harus ditekankan dan dipelihara, suatu
lingkungan sekolah yang menyatakan kasih dan saling menghormati, di antara para
guru, murid dan staf di sekolah. Tidak diperkenankan saling berteriak/ marah-
marah/ kasar satu sama lain (di antara guru, antara guru dan murid- murid
ataupun di antara para murid). Jika seorang murid berbuat salah, jangan
dipermalukan: tidak diperkenankan mengkoreksi murid di hadapan para murid yang
lain.
2. Para murid harus merasa bahwa mereka
dikasihi dan dihargai. Guru- guru ada di sana untuk membantu mereka untuk
menjadi seseorang seperti yang dikehendaki oleh Tuhan.
3. Tidak perlu menghargai mereka dengan
banyak kado/ bingkisan. Para murid seharusnya di harapkan untuk melakukan yang
terbaik menurut kemampuan mereka, dan untuk memberikan apa yang terbaik dari
diri mereka kepada Tuhan.
4. Para Santa/ Santo harus menjadi teladan
mereka, dan bukan para bintang film/ selebriti. Maka adalah tugas para guru
untuk memperkenalkan teladan para Santa/o kepada para muridnya.
5. Para guru harus mengajar anak- anak bagaimana
untuk berpikir sendiri, dan untuk memberikan dorongan/ inspirasi agar mereka
menjadi yang terbaik bagi Tuhan, mencintai Tuhan dan sesama, dan mencintai
Gereja. Ketentuan disiplin harus berdasarkan kebajikan. Ketentuan tersebut
harus mendorong para murid untuk menjadi semakin berbudi dan kudus.
6. Persaingan dalam seolah harus tidak hanya
di bidang akademis, olah raga dan musik, tetapi juga dalam hal pembangunan
karakter. Sebagai contohnya, penghargaan juga harus diberikan terhadap murid-
murid yang mempunyai hati yang melayani, pekerja keras/ rajin, dan suka
menolong, dst.”
Dengan demikian, memang ada
banyak hal yang dapat dilakukan untuk menjadikan sekolah benar- benar sekolah
Katolik, yang sungguh-sungguh mengajarkan iman Katolik dan mengintegrasikannya
di dalam seluruh kegiatan belajar dan mengajar di sekolah.
Beberapa contoh konkret yang dapat dilakukan:
- Doa
bersama sebelum sekolah dimulai. Baik jika diterapkan doa Malaikat Tuhan
(Angelus) pada jam 12 siang, dilanjutkan dengan renungan singkat Kitab
Suci dan tentang kisah riwayat orang kudus (Santa/ santo) pada hari itu
sesuai dengan kalender liturgi Gereja.
- Diadakan
Misa Kudus bersama minimal seminggu sekali (jika dapat diusahakan lebih
sering lebih baik), dengan disediakannya kesempatan mengaku dosa dalam
Sakramen Pengakuan Dosa sebelum Misa dimulai, dan Ibadah Tobat minimal
sebulan sekali.
- Diadakan
kantin kejujuran (kantin tanpa penjaga, para pembeli harus dengan jujur
membayar sesuai dengan jumlah yang dibeli). Tentu anak- anak perlu dilatih
untuk dapat memahami cara kerja kantin ini.
- Diadakan
piket kebersihan digilir per kelas untuk melatih anak- anak saling
melayani.
- Pelajaran
tentang iman Katolik diintegrasikan dengan seni: seni suara/musik, seni
lukis, menjahit, keramik, pidato dst.
- Demikian
juga pada pelajaran ilmu pengetahuan, hindari menggunakan buku- buku yang
tidak sesuai dengan ajaran iman Katolik, seperti evolusi Darwin
(makroevolusi), atau buku sejarah yang mengatakan bahwa Abad Pertengahan
adalah Abad kegelapan; atau buku yang mengatakan bahwa dunia sudah terlalu
penuh, sehingga orang harus membatasi jumlah anak. Jika pemakaian buku-
buku tersebut tidak dapat dihindari, minimal para guru dapat memberikan
penjelasan yang meluruskannya.
- Pendidikan
seksualitas pada anak-anak sesuai dengan umurnya, dengan menyampaikan
nilai- nilai Kristiani sesuai dengan ajaran Gereja Katolik.
Pendidikan iman Katolik di paroki
Mengingat fakta secara umum,
bahwa dewasa ini banyak orang Katolik tidak sungguh- sungguh mengenali imannya,
maka pendidikan katekese sebaiknya dilakukan di semua lini, maksudnya adalah,
kepada anak- anak, kaum muda, maupun orang tua. Katekese anak dapat dilakukan
melalui Bina Iman, yang dilakukan sekali seminggu, menurut kelompok usia. Namun
mungkin baik dipikirkan jika terdapat buku panduan dari pihak keuskupan
setempat, agar memudahkan para guru untuk mempersiapkan pengajaran.
Alangkah baiknya, jika
pastor paroki menghimbau dan mendukung Bina Iman, juga dalam hal mencari para
pengajar yang kompeten untuk mengajar Bina Iman. Mungkin kaum muda/ OMK dapat
dilibatkan dalam hal ini, setelah mereka menjalani semacam pelatihan untuk
menjadi guru- guru Bina Iman. Jika keuangan paroki memungkinkan, dapat pula
diusahakan adanya staf khusus yang menangani hal katekese umat, dalam hal ini
untuk menjadi koordinator guru- guru Bina Iman, yang memberikan pengarahan
kepada para guru setiap minggunya (atau dua minggu sekali) sebelum mereka
mengajar; ataupun juga mengkoordinasikan para katekis lainnya yang bertugas
mengajar katekumen, calon Krisma ataupun calon penerima Komuni pertama.
Alangkah baiknya jika dalam pendidikan iman anak- anak ini, pihak orang tua
dilibatkan, misalnya dengan secara periodik mengadakan rekoleksi/ retret
keluarga ataupun semacam seminar setengah hari yang melibatkan orang tua,
ataupun yang disertai dengan acara rekreasi keluarga.
Di samping itu perlu
diperhatikan adanya kesinambungan dalam pendidikan iman Katolik dari masa
kanak- kanak sampai usia dewasa. Jika tidak ada kelompok khusus antara usia
Komuni pertama sampai usia mudika maka perlu diusahakan komunitas ‘antara’
tersebut. Komunitas ini tidak selalu harus baru, tetapi bisa juga
mendayagunakan komunitas yang sudah ada, seperti Putra- Putri Altar, Legio
Maria Junior, Kelompok koor anak/ remaja, yang diberi pandampingan rohani.
Komunitas OMK atau pasangan
muda juga dapat disemangati dengan katekese tentang pendalaman iman Katolik.
Selanjutnya, kelompok ini dapat didayagunakan untuk juga menjadi para guru Bina
Iman Anak dan Remaja. Jika memungkinkan, dipupuk juga pelatihan OMK untuk
menjadi kelompok yang berguna bagi kegiatan membangun kehidupan menggereja,
seperti menjadi relawan yang mengunjungi dan mendoakan umat paroki yang
sakit, menjadi guru Bina Iman termasuk mengajar Bina Iman dalam bahasa Inggris,
menggiatkan kelompok Bible Study/ Bible Sharing untuk pendalaman iman, kelompok
diskusi apologetik, kelompok musik/ orkestra rohani dan seterusnya.
Hal yang juga dapat
diterapkan untuk meningkatkan kualitas katekisasi adalah prinsip sponsor/
pendukung dalam proses katekumenat calon baptis. Sesungguhnya prinsip ini bukan
hal yang baru, melainkan sudah diterapkan oleh Gereja sejak jaman dulu, dan
kini diterapkan kembali di banyak paroki di negara- negara lain. Dalam
proses ini, setiap katekumen didukung oleh seorang sponsor (dari salah
seorang umat yang sudah dibaptis), yaitu pendukung yang mendampingi katekumen
sepanjang proses katekumenat. Tugas seorang sponsor adalah membantu agar
katekumen dapat semakin memahami iman Katolik, membantunya menemukan motivasi
yang lebih murni untuk menjadi Katolik dan mendampinginya dalam pergumulan yang
mungkin dihadapi dalam proses katekumenat. Maka para sponsor adalah “mereka
yang telah mengetahui dan membantu calon baptis dan berdiri sebagai saksi
baginya dalam hal karakter moral, iman dan intensi”. Kemungkinan, para lulusan
kursus evangelisasi di paroki dapat diarahkan untuk menjadi sponsor bagi para
katekumen. Selain sponsor, setiap katekumen juga mempunyai wali baptis yang
mendampinginya, membantu pertumbuhan imannya dan selalu mendoakannya setiap
hari. “Para wali baptis adalah orang- orang yang dipilih oleh para katekumen
atas dasar teladan yang baik, persahabatan …. Adalah tanggung jawab dari para
orang tua baptis untuk memperlihatkan kepada para katekumen bagaimana
mempraktekkan Injil di dalam kehidupan pribadi dan sosial, untuk menguatkan
mereka di saat- saat mereka ragu/ enggan dan kuatir, untuk menjadi saksi dan
untuk membimbing kemajuan katekumen dalam kehidupan sebelum dan sesudah
baptisan.” Karena peran sponsor dan para orang tua baptis sangatlah penting,
maka pentinglah pula dipersiapkan beberapa umat di paroki agar dapat melakukan
tugas ini. Diperlukan katekese umat dalam hal ini, agar mereka dapat terpanggil
untuk menjadi sponsor [dan wali baptis] dan melakukan tugas mereka dengan suka
cita. Sponsor dan para katekis harus bersama- sama saling bahu- membahu untuk
mempersiapkan calon baptis menerima Kristus dalam sakramen- sakramen Inisiasi.
Perlu dipikirkan juga bagaimana menerapkan penggabungan para katekumen ke dalam
kehidupan seluruh umat beriman dalam liturgi, seperti yang ditetapkan dalam the
RCIA (Rites of Christian Initiation of Adults) yang disusun berdasarkan the
Order of Christian Initiation of Adults yang dipromulgasikan oleh Paus Paulus
VI pada tahun 1972. Hal ini terlihat dalam beberapa ritual dalam liturgi
yang mencerminkan beberapa tahapan dalam masa katekumenat, sejak masa
penerimaan sampai dibaptis, seperti: Rite of Acceptance, Rite of Welcoming,
Rite of Election, Rite of the Call to Continuing Conversion, Scrutinies,
Sacraments of Initiation. Dan akhirnya, perlu dipikirkan bagaimana seluruh umat
di paroki menyambut mereka, sehingga mereka dapat masuk ke dalam kehidupan
menggereja. Untuk membantu umat yang baru dibaptis, maka mistagogi juga harus
disusun secara serius.
Para katekis awam juga perlu
terus memperdalam pengetahuan dan penghayatan mereka akan iman Katolik,
sehingga mereka dapat mengajar sesuai dengan pengajaran Magisterium Gereja;
setelah menerapkan ajaran tersebut dalam kehidupannya pribadinya sendiri. Alangkah
baiknya jika seksi Katekese KWI secara berkala mengadakan sesi pengajaran
khusus tentang beberapa topik khas Katolik secara mendalam (misalnya Maria,
tentang Gereja, Sakramen, dst) yang dapat diikuti oleh semua katekis.
Harapannya agar para katekis menjadi semakin memahami ajaran iman Katolik, yang
selalu mengambil dasar dari Kitab Suci dan Tradisi Suci. Lebih lanjut, seksi
Katekese KWI juga dapat memberikan kursus kepada para katekis, yang nantinya
menjadi dasar untuk pemberian sertifikat mengajar kepada para katekis.
Selanjutnya, katekese
lanjutan bagi kelompok umat yang baru dibaptis juga sangat penting. Mereka yang
baru dibaptis sebenarnya adalah ‘anak- anak’ dalam hal rohani, yang memerlukan
pembinaan iman lebih lanjut agar iman mereka dapat terus bertumbuh. Pembinaan
lanjutan ini idealnya tidak hanya dilakukan satu atau dua kali, tetapi
seterusnya, sampai mereka dapat menjadi sponsor bagi para calon baptis dalam
angkatan berikutnya. Dengan demikian, harapannya proses katekese dapat berjalan
berkesinambungan dan ada proses regenerasi dalam proses tersebut.
Kesimpulan
Bahwa ada
banyak umat Katolik yang tidak sungguh-sungguh mengenali imannya, menjadi
tantangan bagi kita untuk memperbaiki proses katekese di dalam Gereja Katolik.
Proses katekese atau pendidikan iman ini harus dimulai sejak dini, baik di
keluarga, sekolah maupun di paroki. Di dalam semua proses tersebut, harus tetap
dipahami dan diterapkan bahwa orang tua merupakan pendidik pertama dan utama
bagi anak-anak mereka dalam hal iman dan pembentukan karakter. Dalam melakukan
tugas ini, orang tua memperoleh bantuan dari sekolah dan paroki dan ketiga
pihak ini harus bersama-sama berusaha untuk membentuk anak untuk mengasihi
Tuhan dan sesama, dan menjadi pribadi yang bertanggungjawab di dalam hidup ini,
agar kelak dapat masuk dalam Kerajaan Surga. Dewasa ini ada begitu banyak
tantangan yang harus dihadapi untuk melaksanakan pendidikan iman, karena ada
banyak tawaran dunia yang dapat lebih menarik perhatian anak-anak dan generasi
muda. Maka orang tua, pihak sekolah dan paroki harus bersatu padu untuk
bersama- sama berusaha untuk malaksanakan tugas pendidikan iman ini, dengan
memperhatikan isi dan cara penyampaiannya. Jika usaha terpadu ini dapat
dilakukan secara berkesinambungan, dari usia dini sampai dewasa, maka
besar harapan kita bahwa semakin banyak umat Katolik dapat mengenal dan
mengasihi imannya, dan dapat pula menjadi saksi- saksi iman yang hidup untuk
membangun Gereja dan masyarakat. Janganlah kita lupa akan prinsip dasar dalam
hal pendidikan iman ini : “Jangan biarkan dunia ini yang mendidik dan
membesarkan anak- anak kita, sebab sebagai orang tua, guru dan Gereja, kitalah
yang harus mendidik anak- anak agar mereka dapat masuk surga.” Mari kita
bersama sebagai anggota Tubuh Kristus secara bahu membahu bekerja bersama
Kristus sang Kepala kita untuk mewujudkan kehendak-Nya yang “mengendaki supaya
semua orang diselamatkan dan memperoleh pengetahuan akan kebenaran” (1 Tim
2:4). Semoga pendidikan iman dalam keluarga, sekolah dan paroki mengarah kepada
pengetahuan akan kebenaran ini, yang menghantar kita sampai kepada kehidupan
kekal.