Kamis, 06 November 2014

DOSA

DOSA
Dosa ialah suatu perbuatan yang menyebabkan terputusnya hubungan antara manusia dengan Allah, karena manusia mencintai dirinya atau hal-hal lain sedemikian rupa sehingga menjauhkan diri dari cinta kasih Allah.
Seseorang dikatakann berdosa apabila perbuatannya melwan cinta kasih Allah itu dilakukan dengan BEBAS (tidak dalam keadaan dipaksa), SADAR (tidak dalam keadaan terbius), TAHU (mengerti bahwa perbuatan itu jahat)
Dosa menciptakan kecondongan kepada dosa; pengulangan perbuatan-perbuatan jahat yang sama mengakibatkan kebiasaan buruk. Hal ini mengakibatkan terbentuknya kecenderungan yang salah, menggelapkan hati nurani dan menghambat keputusan konkret mengenai yang baik dan yang buruk. Dosa cenderung terulang lagi dan diperkuat, namun ia tidak dapat menghancurkan seluruh perasaan moral. (KGK 1865)
Kebiasaan buruk dapat digolongkan menurut kebajikan yang merupakan lawannya, atau juga dapat dihubungkan dengan dosa-dosa pokok yang dibedakan dalam pengalaman Kristen menurut ajaran santo Yohanes Kasianus dan santo Gregorius Agung Bdk. mor 31,45.. Mereka dinamakan dosa-dosa pokok, karena mengakibatkan dosa-dosa lain dan kebiasaan-kebiasaan buruk yang lain. Dosa-dosa pokok adalah kesombongan, ketamakan, kedengkian, kemurkaan, percabulan, kerakusan kelambanan, atau kejemuan [acedia].(KGK 1866)
Tradisi kateketik juga mengingatkan, bahwa ada dosa-dosa yang berteriak ke surga. Yang berteriak ke surga adalah darah Abel (Bdk Kej 4: 10), dosa orang Sodom Bdk Kej 18: 20, 19:13, keluhan nyaring dari umat yang tertindas di Mesir Bdk Kel 3:7-10, keluhan orang-orang asing, janda dan yatim piatu, Bdk. 22: 20-22. dan upah kaum buruh yang ditahan Bdk Ul 24:14-15, Yak 5:4 (KGK 1867)
Dosa adalah satu tindakan pribadi. Tetapi kita juga mempunyai tanggung jawab untuk dosa orang lain kalau kita turut di dalamnya,(KGK 1868)
  • kalau kita mengambil bagian dalam dosa itu secara langsung dan dengan suka rela,
  • kalau kita memerintahkannya, menasihatkan, memuji, dan membenarkannya,
  • kalau kita menutup-nutupinya atau tidak menghalang-halanginya, walaupun kita berkewajiban untuk itu,
  • kalau kita melindungi penjahat.
Dengan demikian dosa membuat manusia menjadi teman dalam kejahatan dan membiarkan keserakahan, kekerasan, dan ketidakadilan merajaleIa di antara mereka. Di tengah masyarakat, dosa-dosa itu mengakibatkan situasi dan institusi yang bertentangan dengan kebaikan Allah. "Struktur dosa" adalah ungkapan dan hasil dosa pribadi, Mereka menggoda kurban-kurbannya, supaya ikut melakukan yang jahat. Dalam arti analog mereka merupakan "dosa sosial" Bdk. RP 16.. (KGK 1869) "Allah telah mengurung semua orang dalam ketidaktaatan, supaya Ia dapat menunjukkan kemurahan-Nya atas mereka semua" (Rm 11:32).(KGK 1870)
Dosa adalah satu "perkataan, perbuatan, atau satu keinginan yang bertentangan dengan hukum abadi" (Agustinus, Faust. 22,27) Dikutip oleh TomasAqu., s.th. 1-2,71,6, obj. 1: sc.. Satu penghinaan terhadap Allah. Ia membangkang terhadap Allah dalam ketidaktaatan, yang berlawanan dengan ketaatan Kristus.(KGK 1871)
Dosa adalah satu tindakan melawan akal budi. Ia melukai kodrat manusia dan mengganggu solidaritas manusia.(KGK 1872). Akar dari semua dosa terletak di dalam hati manusia. Macamnya dan beratnya ditentukan terutama menurut obyeknya.(KGK 1873) Siapa yang dengan sengaja, artinya dengan tahu dan mau, menjatuhkan keputusan kepada sesuatu yang bertentangan dengan hukum ilahi dan dengan tujuan akhir manusia dalam hal yang berat, ia melakukan dosa berat. Dosa itu merusakkan kebajikan ilahi di dalam kita, kasih, dan tanpa kasih tidak ada kebahagiaan abadi. Kalau ia tidak disesali, ia akan mengakibatkan kematian abadi.(KGK 1874)

DOSA ASAL
Dosa asal adalah "dosa" dalam arti analog: ia adalah dosa, yang orang "menerimanya", tetapi bukan melakukannya, satu keadaan, bukan perbuatan. Dengan demikian, dosa asal tidak mempunyai sifat kesalahan pribadi pada keturunan Adam. Manusia kehilangan kekudusan asli, namun kodrat manusiawi tidak rusak sama sekali, tetapi hanya dilukai dalam kekuatan alaminya. Ia takluk kepada kelemahan pikiran, kesengsaraan dan kekuasaan maut dan condong kepada dosa.
Pada masa Gereja perdana kita tahu ada beberapa kelompok/golongan yang menolak konsep "dosa asal", seperti Gnostics, Manichaeans, Pelagians, dan lainnya, yang tidak sesuai dengan pengajaran Gereja Katolik. Dibawah ini kami ketengahkan beberapa ayat dalam Kitab Suci yang berhubungan dengan dosa asal
Manusia pertama telah berbuat dosa:
Dalam kitab Kejadian dinyatakan bahwa Adam dan Hawa telah berdosa dan oleh karena itu, maka Adam dan Hawa dan seluruh keturunannya harus menanggung dosa. (lih Kej 2). "Tetapi karena dengki setan maka maut masuk ke dunia, dan yang menjadi milik setan mencari maut itu." (Keb 2:24). "Tetapi aku takut, kalau-kalau pikiran kamu disesatkan dari kesetiaan kamu yang sejati kepada Kristus, sama seperti Hawa diperdayakan oleh ular itu dengan kelicikannya." (1Tim 2:142, Kor 11:3, Rm 5:12, Yoh 8:44).
Dosa manusia pertama adalah dosa kesombongan ( Sir 10:14-15, Rm 5:19, Tob 4:14). Manusia kehilangan berkat kekudusan dan terpisah dari Allah. (Kej 3). Manusia kehilangan "the gift of integrity", sehingga manusia dapat menderita dan meninggal (Kej 3:16).Manusia terbelenggu oleh dosa dan kejahatan (lih. Kej 3:15-16; Yoh 12:31; 14:30; 2 Kor 4:4; Ib 2:14; 2 Pet 2:19).
Dosa asal ini diturunkan kepada semua manusia: "Sesungguhnya, dalam kesalahan aku diperanakkan, dalam dosa aku dikandung ibuku" (Mz 51:7). "Siapa dapat mendatangkan yang tahir dari yang najis? Seorangpun tidak!" (Ay 14:4). "Tetapi karena dengki setan maka maut masuk ke dunia, dan yang menjadi milik setan mencari maut itu."(Keb 2:24). "From the woman came the beginning of sin, and by her we all die." (LXX/ Septuagint - Sir 25:33). Dan kemudian rasul Paulus memberikan penegasan dengan memberikan perbandingan antara Adam, manusia pertama yang jatuh ke dalam dosa kesombongan, dan Kristus yang membebaskan manusia dari dosa dengan ketaatan kepada Allah (Rom 5:12-21, bdk 1Kor 15:2, Ef 2:1-3, Rm 5:12-19, 1).
Demikian halnya para Bapa Gereja. Santo Agustinus (De Nupt. et concupt. II 12,25) mendukung konsep Dosa Asal dan juga . St. Cyprian juga memperkuat doktrin dosa asal dengan memberikan alasan bahwa dosa asal merupakan doktrin yang memang telah ada sejak awal mula, yang dibuktikan dengan permandian bayi untuk penghapusan dosa (lih. St. Cyprian, Ep. 64, 5). Dimana doktrin Dosa Asal diperkuat dari pernyataan Konsili Trente (D.790). Dari hal tersebut di atas, maka doktrin tentang dosa asal bersumber kepada dari Alkitab, juga dari Tradisi Suci, yang diperkuat oleh Bapa Gereja dan Konsili.

DOSA BERAT
Dosa-dosa harus dinilai menurut beratnya. Pembedaan antara dosa berat dan dosa ringan yang sudah dapat ditemukan dalam Kitab Suci (Bdk. I Yoh 6: 16-17) diterima oleh tradisi Gereja. Pengalaman manusia menegaskannya. (KGK 1854)
Dosa berat merusakkan kasih di dalam hati manusia oleh satu pelanggaran berat melawan hukum Allah. Di dalamnya manusia memalingkan diri dari Allah, tujuan akhir dan kebahagiaannya dan menggantikannya dengan sesuatu yang lebih rendah. Dosa ringan membiarkan kasih tetap ada, walaupun ia telah melanggarnya dan melukainya. (KGK 1855)
Karena dosa berat merusakkan prinsip hidup di dalam kita, yaitu kasih, maka ia membutuhkan satu usaha baru dari kerahiman Allah dan suatu pertobatan hati yang secara normal diperoleh dalam Sakramen Pengakuan: "Kalau kehendak memutuskan untuk melakukan sesuatu yang dalam dirinya bertentangan dengan kasih, yang mengarahkan manusia kepada tujuan akhir, maka dosa ini adalah dosa berat menurut obyeknya.... entah ia melanggar kasih kepada Allah seperti penghujahan Allah, sumpah palsu, dan sebagainya atau melawan kasih terhadap sesama seperti pembunuhan, perzinaan, dan sebagainya... Sedangkan, kalau kehendak pendosa memutuskan untuk membuat sesuatu yang dalam dirinya mencakup satu kekacauan tertentu, tetapi tidak bertentangan dengan kasih Allah dan sesama, seperti umpamanya satu perkataan yang tidak ada gunanya, tertawa terlalu banyak, dan sebagainya, maka itu adalah dosa ringan" (Tomas Aqu.,s.th. 1-2,88,2). (KGK 1856)
Supaya satu perbuatan merupakan dosa berat harus dipenuhi secara serentak tiga persyaratan: "Dosa berat ialah dosa yang mempunyai materi berat sebagai obyek dan yang dilakukan dengan penuh kesadaran dan dengan persetujuan yang telah dipertimbangkan" (RP#17). (KGK 1857)
Apa yang merupakan materi berat itu, dijelaskan oleh sepuluh perintah sesuai dengan jawaban Yesus kepada pemuda kaya: "Engkau jangan membunuh, jangan berzinah jangan mencuri, jangan bersaksi dusta... hormatilah ayahmu dan ibumu" (Mrk 10:19). Dosa-dosa dapat lebih berat atau kurang berat: pembunuhan lebih berat daripada pencurian. Juga sifat pribadi orang yang dilecehkan, harus diperhatikan: tindakan keras terhadap orang-tua bobotnya lebih berat daripada terhadap seorang asing. (KGK 1858)
Dosa berat menuntut pengertian penuh dan persetujuan penuh. Ia mengandaikan pengetahuan mengenai kedosaan dari suatu perbuatan, mengenai kenyataan bahwa ia bertentangan dengan hukum Allah. Dosa berat juga mencakup persetujuan yang dipertimbangkan secukupnya, supaya menjadi keputusan kehendak secara pribadi. Ketidaktahuan yang disebabkan oleh kesalahan dan ketegaran hati Bdk. Mrk. 3: 5-6, Luk. 16: 19 - 31 tidak mengurangi kesukarelaan dosa, tetapi meningkatkannya. (KGK 1859)  Ketidaktahuan yang bukan karena kesalahan pribadi dapat mengurangkan tanggungjawab untuk satu kesalahan berat, malahan menghapuskannya sama sekali. Tetapi tidak dapat diandaikan bahwa seseorang tidak mengetahui prinsip-prinsip moral yang ditulis di dalam hati nurani setiap manusia. Juga rangsangan naluri, hawa nafsu serta tekanan yang dilakukan dari luar atau gangguan yang tidak sehat dapat mengurangkan kebebasan dan kesengajaan dari satu pelanggaran. Dosa karena sikap jahat atau karena keputusan yang telah dipertimbangkan untuk melakukan yang jahat, mempunyai bobot yang paling berat. (KGK 1860)
Dosa berat, sama seperti kasih, adalah satu kemungkinan radikal yang dapat dipilih manusia dalam kebebasan penuh. Ia mengakibatkan kehilangan kebajikan ilahi, kasih, dan rahmat pengudusan, artinya status rahmat. Kalau ia tidak diperbaiki lagi melalui penyesalan dan pengampunan ilahi, ia mengakibatkan pengucilan dari Kerajaan Kristus dan menyebabkan kematian abadi di dalam neraka karena kebebasan kita mempunyai kekuasaan untuk menjatuhkan keputusan yang definitif dan tidak dapat ditarik kembali. Tetapi meskipun kita dapat menilai bahwa satu perbuatan dari dirinya sendiri merupakan pelanggaran berat, namun kita harus menyerahkan penilaian mengenai manusia kepada keadilan dan kerahiman Allah. (KGK 1861)

DOSA RINGAN
Dosa ringan dilakukan, apabila seorang melanggar peraturan hukum moral dalam materi yang tidak berat atau walaupun hukum moral itu dilanggar dalam materi yang berat, namun dilakukan tanpa pengetahuan penuh dan tanpa persetujuan penuh. (KGK 1862)
Dosa ringan memperlemah kebajikan ilahi, kasih; di dalamnya tampak satu kecondongan yang tidak teratur kepada barang-barang ciptaan; ia menghalang-halangi bahwa jiwa mengalami kemajuan dalam pelaksanaan kebajikan dan dalam kegiatan kebaikan moral; ia mengakibatkan siksa-siksa sementara. Kalau dosa ringan dilakukan dengan sadar dan tidak disesalkan, ia dapat mempersiapkan kita secara perlahan-lahan untuk melakukan dosa berat. Tetapi dosa ringan tidak menjadikan kita lawan terhadap kehendak dan persahabatan Allah; ia tidak memutuskan perjanjian dengan Allah. Dengan rahmat Allah, ia dapat diperbaiki lagi secara manusiawi. Ia tidak mencabut rahmat yang menguduskan dan mengilahikan, yakni kasih serta kebahagiaan abadi. "Selama manusia berziarah di dalam daging, ia paling sedikit tidak dapat hidup tanpa dosa ringan. Tetapi jangan menganggap bahwa dosa yang kita namakan dosa ringan itu, tidak membahayakan. Kalau engkau menganggapnya sebagai tidak membahayakan, kalau menimbangnya, hendaknya engkau gemetar, kalau engkau menghitungnya. Banyak hal kecil membuat satu timbunan besar; banyak tetesan air memenuhi sebuah sungai; banyak biji membentuk satu tumpukau. Jadi,.harapan apa yang kita miliki? Di atas segala-galanya pengakuan" ( St. Augustine, In ep. Jo. 1, 6: PL 35, 1982.). (KGK 1863) "Tetapi apabila seorang menghujah Roh Kudus", ia tidak mendapat ampun selama-lamanya, tetapi bersalah karena berbuat dosa kekal" (Mrk 3:29) Bdk. Mat 12:32, Luk 12:10. Kerahiman Allah tidak mengenal batas; tetapi siapa yang dengan sengaja tidak bersedia menerima kerahiman Allah melalui penyesalan, ia menolak pengampunan dosa-dosanya dan keselamatan yang ditawarkan oleh Roh Kudus Bdk. DeV 46.. Ketegaran hati semacam itu dapat menyebabkan sikap yang tidak bersedia bertobat sampai pada saat kematian dan dapat menyebabkan kemusnahan abadi. (KGK 1864).
Dosa ringan merupakan gangguan moral yang dapat diperbaiki lagi dengan kasih ilahi, yang bagaimanapun tetap ada di dalam kita. (KGK 1875) Pengulangan dosa, juga dosa ringan, membawa kepada kebiasaan buruk, antara lain kepada apa yang dinamakan dosa-dosa pokok. (KGK 1876).

Senin, 03 November 2014

API PENCUCIAN


API PENYUCIAN
Menurut pandangan orang pada umumnya, setelah kematian (bukan pada hari kiamat kelak) setiap orang akan diadili secara pribadi. Dimana ada tiga kemungkinan dari pengadilan itu yaitu Surga, Api Penyucian (Purgatory) dan Neraka. Karena mereka yang menganggap diri kurang baik untuk surga, dan juga tidak mau masuk ke neraka, maka Api Penyucian dipandang sebagai pintu yang "normal". Tetapi api penyucian pun bukan pintu, juga bukan kemungkinan kemungkinan ketiga disamping surga dan neraka.
 Siapa yang mati dalam rahmat dan dalam persahabatan dengan Allah, namun belum disucikan sepenuhnya, memang sudah pasti akan keselamatan abadinya, tetapi ia masih harus menjalankan satu penyucian untuk memperoleh kekudusan yang perlu, supaya dapat masuk ke dalam kegembiraan surga” (KGK 1030). Keadaan yang digambarkan dalam kutipan Katekismus Gereja Katolik itulah yang disebut dengan Api Penyucian. Secara singkat digambarkan sebagai keadaan antara sorga dan neraka. Api penyucian bukanlah neraka, karena orang-orang yang ada di neraka adalah orang-orang yang secara definitif menolak Allah, ketika mati tidak berada dalam status rahmat. Namun demikian, orang-orang yang berada dalam api penyucian belum masuk surga, meski pasti akan masuk surga, karena masih harus dimurnikan dari dosa-dosanya. Mereka yang berada dalam api penyucian ini membutuhkan doa umat yang masih hidup. Bagaimana ajaran Gereja Katolik mengenai api penyucian ini dapat dipahami. Tulisan ini mencoba menelusuri perkembangan paham dalam tradisi Gereja Katolik.

1. Dasar dalam Kitab Suci
            Pandangan mengenai api penyucian berkaitan erat dengan pandangan mengenai hidup sesudah mati. Perjanjian Lama pada awalnya tidak mengenal hidup sesudah mati. Kematian dipahami sebagai tidur dalam keabadaian, masuk dalam dunia orang mati, “ke negeri yang gelap dan kelam pekat, ke negeri yang gelap gulita, tempat yang kelam dan pekat dan kacau balau, di mana cahaya terang serupa dengan kegelapan” (Ayb 10:21-22). Dalam dunia orang mati ini “tak ada pekerjaan, pertimbangan, pengetahuan dan hikmat” (Pkh 9:10). Dengan demikian, kematian berarti sungguh-sunggu keterpisahan. Pertama-tama keterpisahan dari Allah, tetapi juga keterpisahan dari manusia lainnya. Orang mati tidak dapat dihubungi lagi. Gagasan seperti ini juga masih hidup pada jaman Yesus. Pertanyaan orang-orang saduki mengenai perempuan yang secara berturut-turut dinikahi oleh tujuh bersaudara (Mat 22:23-33; Mrk 12:18-27; Luk 20:27-40) menunjukkan ketidakpercayaan mereka akan kebangkitan badan.
            Namun demikian pelan-pelan berkembang pula paham mengenai kebangkitan badan dan kehidupan setelah kematian. Berkembangnya sastra apokaliptik mempengaruhi gagasan mengenai kematian. Orang mati mulai mendapat perhatian, dan nasib orang mati mulai dikaitkan dengan apa yang mereka perbuat selama hidup. Apa yang dialami oleh orang-orang mati mulai dipahami berbeda-beda menurut perbuatan mereka di dunia. Mereka akan dihakimi menurut perbuatan mereka di dunia, “dan banyak orang-orang yang telah tidur di debu tanah, akan bangun, sebagian untuk mendapat hidup yang kekal, sebagian untuk mengalami kehinaan dan kengerian yang kekal” (Dan 12:2).
Penegasan mengenai relasi keadaan mereka yang sudah meninggal ditampilkan oleh Kitab 2 Makabe 12:43-45: ”Kemudian dikumpulkannya uang di tengah-tengah pasukan. Lebih kurang dua ribu dirham perak dikirimkannya ke Yerusalem untuk mempersembahkan korban penghapus dosa. Ini sungguh suatu perbuatan yang sangat baik dan tepat, oleh karena Yudas memikirkan kebangkitan. Sebab jika tidak menaruh harapan bahwa orang-orang yang gugur itu akan bangkit, niscaya percuma dan hampalah mendoakan orang-orang mati. Lagipula Yudas ingat bahwa tersedialah pahala yang amat indah bagi sekalian orang yang meninggal dengan saleh. Ini sungguh suatu pikiran yang mursid dan saleh. Dari sebab itu maka disuruhnyalah mengadakan korban penebus salah untuk semua orang yang sudah mati itu, supaya mereka dilepaskan dari dosa mereka”. Dengan demikian 2 Makabe menegaskan penghakiman bagi yang meninggal, tetapi sekaligus memberikan gagasan baru bahwa orang yang sudah meninggal dapat ditolong oleh mereka yang masih hidup.
Teks Perjanjian Baru yang paling tegas berbicara mengenai api penyucian ialah 1 Kor 3:10-15, namun gagasan itu juga dapat diketemukan dalam Mat 5:25-26; Mat 12:31-32; Luk 12:48; 2 Tim 1:16, 1 Kor 15:29.  Paulus mengatakan: “sekali kelak pekerjaan masing-masing akan nampak. Karena hari Tuhan akan menyatakannya, sebab ia akan nampak dengan api dan bagaimana pekerjaan masing-masing akan diuji oleh api. Jika pekerjaan yang dibangun seseorang tahan uji, ia akan mendapat upah. Jika pekerjaannya terbakar, ia akan menderita kerugian, tetapi ia sendiri akan diselamatkan, tetapi seperti dari api” (1 Kor 3:13-15). Di sini Paulus tidak hanya menegaskan bahwa setiap orang beriman akan diuji menurut pekerjaannya, tetapi juga ada keadaan orang beriman yang harus menanggung akibat dari perbuatannya, meski ia tetap selamat. Dari sini gambaran api penyucian lebih dipahami sebagai pemurnian orang-orang yang sudah diterima Tuhan, orang-orang yang sudah diselamatkan tetapi masih harus menanggung akibat dari perbuatan-perbuatannya yang tidak tahan uji.

2. Kesaksian Bapa-Bapa Gereja
            Sejak awal Bapa-Bapa Gereja memberi kesaksian akan adanya keadaan tempat orang-orang beriman yang sudah meninggal disucikan. Kesaksian paling awal dari iman akan api penyucian muncul dalam tulisan berjudul Kemartiran Perpetua dan Felisitas (th. 203). Perpetua sudah dijatuhi hukuman mati, karena tidak mau meninggalkan imannya. Ketika sedang berdoa, ia melihat Dinokrates, adiknya yang sudah meninggal dan mengajak rekan-rekannya untuk berdoa bagi adiknya itu. Ia melihat adiknya keluar dari tempat yang kotor, gelap, pengap, panas, dan ada jurang di antara mereka. Di sampingnya ada kolam, tetapi tidak dapat dicapai. Perpetua berdoa untuk adiknya itu. Beberapa hari kemudian ia melihat adiknya dalam keadaan bersih dan segar. Ia telah dibebaskan dari siksaan yang berat. Inilah kesaksian dari tulisan mengenai kemartiran Perpetua dan Felisitas. Banyak tulisan semacam ini yang memberikan gambaran bahwa api penyucian itu sungguh ada dan orang-orang beriman yang ada di sana dapat disucikan melalui doa orang-orang yang lebih hidup.
            Selain itu, Bapa-Bapa Gereja juga memberikan gambaran apa itu api penyucian. Tertullianus berpendapat bahwa hanya para martirlah yang langsung dapat menikmati kemuliaan surgawi, sementara jiwa-jiwa orang beriman yang lain harus menunggu kebangkitan badan (Tentang Kebangkitan Badan, 43). Pada saat penantian itulah, jiwa-jiwa harus disucikan dari perbuatan-perbuatan yang tidak baik. Jiwa itu harus menanggung kesalahan-kesalahan yang telah dibuatnya, sambil menunggu kesatuan dengan badan di hari kebangkitan badan (Tentang Jiwa, 58). Jiwa-jiwa ini dapat dibantu dengan doa-doa orang-orang yang masih hidup, agar menikmati istirahat kekal. Tertullianus mengusulkan terutama pada peringatan meninggalnya (Tentang Monogami, 10).
            Agustinus juga menegaskan bahwa setiap orang akan menanggung akibat dari setiap perbuatan yang dilakukannya, entah di dunia sekarang atau di dunia yang akan datang sebelum kebangkitan badan. Dalam masa penyucian itulah orang dapat memperoleh pengampunan dari dosa-dosa yang belum sempat diampuni selama hidup di dunia (Tentang Kota Allah, XI, 13). Jiwa-jiwa di api penyucian dapat dibantu dengan korban dan doa-doa umat beriman yang masih hidup (Kotbah 172,2).
            Masih banyak kesaksian Bapa Gereja mengenai api penyucian dan perlunya mendoakan mereka yang berada di api penyucian. Secara umum api penyucian haruslah dipahami sebagai saat pemurnian akibat dosa-dosa yang dilakukan selama masih di dunia. Tentu bukan dosa yang membawa maut.

3. Ajaran Resmi Gereja
            Penegasan resmi Gereja dapat dilacak dari beberapa konsili yang mengajarkan mengenai api penyucian. Paus Innocentius IV dalam suratnya kepada Uskup Frascati (1254) menegaskan pengakuan iman bahwa orang beriman yang sudah menerima pengampunan dosa tetapi belum penuh, atau mereka yang tidak berada dalam dosa berat, ada dalam penyucian setelah kematian dan dapat dibantu dengan doa-doa umat beriman. Mereka ini berada di api penyucian (purgatorium), untuk menyucikan dari dosa-dosa kecil yang belum diampuni, tetapi tidak dari dosa yang mematikan (DS 838). Pernyataan ini kemudian ditegaskan lagi dalam Konsili Lyon II pada tahun 1274 dalam pengakuan iman Kaisar Michael Paleologus (DS 856). Konsili juga menegaskan bahwa ada kemungkinan jiwa langsung masuk ke surga, bila orang beriman setelah dibaptis tidak berdosa lagi atau sudah sungguh-sungguh dilepaskan dari dosa-dosa (DS 857).
            Konsili Firenze melalui Dekrit untuk orang-orang Yunani (1439) menegaskan kembali pandangan mengenai saat penyucian bagi jiwa-jiwa yang masih membawa dosa yang belum diampuni. Maka ada tiga situasi jiwa-jiwa orang beriman setelah kematian. Yang pertama, ialah mereka yang meninggal dalam rahmat, tetapi belum mendapatkan kepenuhan buah pengampunan dosa, mereka ini masih perlu disucikan di api penyucian. Mereka dapat dibantu oleh doa-doa, kurban, yang dilakukan oleh umat beriman (DS 1304). Yang kedua, mereka yang setelah baptis sungguh-sungguh tak bercela dan tanpa noda dosa, mereka ini boleh langsung masuk ke sorga, dan memandang Allah dari muka ke muka (DS 1305). Yang ketiga, mereka yang berada dalam dosa maut, dosa besar masuk ke neraka (DS 1306). Ajaran ini kemudian ditegaskan lagi pada Konsili Trente ketika Gereja berhadapan dengan reformasi Protestan.
            Konsili Vatikan menempatkan jiwa-jiwa di api penyucian dalam kesatuan dengan keseluruhan anggota-anggota Gereja. Konsili menyatakan bahwa di antara anggota-anggota Gereja ada “yang masih harus mengembara di dunia, dan ada yang sudah meninggal dan mengalami penyucian, ada pula yang menikmati kemuliaan sambil memandang ‘dengan jelas Allah Tritunggal sendiri sebagaimana adaNya”. Namun demikian, ketiga keadaan anggota-anggota Gereja itu “saling berhubungan dalam cinta kasih yang sama terhadap Allah dan sesama, dan melambungkan madah pujian yang sama ke hadirat Allah kita” (LG 49). Secara khusus berkaitan dengan keadaan mereka yang sudah meninggal dan masih harus mengalami penyucian, Konsili Vatikan II menegaskan pernyataan-pernyataan konsili-konsili sebelumnya. Konsili Vatikan II menempatkan jiwa-jiwa di api penyucian sebagai anggota-anggota Gereja yang masih harus dimurnikan, yang tetap berada dalam kesatuan dengan seluruh anggota Gereja. Maka tugas mereka yang di dunia ini untuk mendoakan mereka.

Kesimpulan
            Dari penelusuran Kitab Suci maupun tradisi Gereja nampaklah bahwa mereka yang ada dalam api penyucian adalah orang-orang yang mati dalam rahmat. Artinya api penyucian bukanlah bagian dari neraka, tetapi merupakan proses untuk sampai pada kepenuhan kemuliaan sorgawi. Memang Gereja mengakui ada orang-orang yang langsung sampai pada kemuliaan sorgawi, tanpa melalui api penyucian, yaitu mereka yang setelah baptis sungguh-sungguh tidak berdosa lagi, ataupun setelah berdosa sudah mendapatkan pengampunan secara penuh. Mereka ini langsung bersatu dalam kemuliaan surgawi. Namun demikian seringkali buah pengampunan dosa belum dapat dinikmati sepenuhnya selama ada di dunia, sebagaimana akibat dosa seringkali masih tertinggal ketika orang sudah diampuni dosanya. Hal ini menjadi hambatan bagi manusia untuk menanggapi kasih Allah meski ia percaya bahwa Allah mengasihinya tanpa memperhitungkan dosa-dosanya. Inilah yang masih perlu dimurnikan. Untuk itu diperlukan bantuan mereka yang masih berada di dunia ini.

Jumat, 10 Oktober 2014

Maria



Mengenal Bunda Maria
Maria adalah seorang perawan yang tinggal di Nazaret, daerah Galilea. Yoakim dan Anna adalah nama ayah dan ibunya. Sebagai seorang Yahudi Maria sangat mengharapkan kedatangan sang Mesias, yaitu Juruselamat dunia. Dalam kehidupan Geraja Katolik, Bunda Maria merupakan sosok pribadi yang mempunyai tempat sungguh istimewa. Gereja Katolik sangat menghormatinya, sehingga dapat kita lihat, begitu kuat Devosi terhadap Bunda Maria.
Penghormatan ini dilakukan oleh Gereja Katolik dengan berbagai macam cara dan Devosi. Gereja Katolik memberikan bulan khusus, yaitu Mei dan Oktober untuk menghormati Bunda Maria. Pada bulan Mei dan Oktober, Gereja Katolik mengajak umatnya untuk berdoa Rosario, baik secara pribadi maupun berkelompok (baik di lingkungan/stasi, dsb) ataupun lewat ziarah-ziarah ke gua Maria. Dalam kehidupan Liturgi Gereja Katolik, menempatkan beberapa pesta yang berkaitan dengan bunda Maria. Hal tersebut menunjukan bahwa Bunda Maria sungguh mempunyai tempat yang istimewa di dalam Gereja katolik.

Gelar Maria Bunda Allah
Dalam bulan yang keenam Allah menyuruh malaikat Gabriel pergi ke sebuah kota di Galilea bernama Nazaret, kepada seorang perawan yang bertunangan dengan seorang bernama Yusuf dari keluarga Daud; nama perawan itu Maria. Ketika malaikat itu masuk ke rumah Maria, ia berkata: "Salam, hai engkau yang dikaruniai, Tuhan menyertai engkau." Maria terkejut mendengar perkataan itu, lalu bertanya di dalam hatinya, apakah arti salam itu. Kata malaikat itu kepadanya: "Jangan takut, hai Maria, sebab engkau beroleh kasih karunia di hadapan Allah. Sesungguhnya engkau akan mengandung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki dan hendaklah engkau menamai Dia Yesus. Ia akan menjadi besar dan akan disebut Anak Allah Yang Mahatinggi. Dan Tuhan Allah akan mengaruniakan kepada-Nya takhta Daud, bapa leluhur-Nya, dan Ia akan menjadi raja atas kaum keturunan Yakub sampai selama-lamanya dan Kerajaan-Nya tidak akan berkesudahan." Kata Maria kepada malaikat itu: "Bagaimana hal itu mungkin terjadi, karena aku belum bersuami?" Jawab malaikat itu kepadanya: "Roh Kudus akan turun atasmu dan kuasa Allah Yang Mahatinggi akan menaungi engkau; sebab itu anak yang akan kaulahirkan itu akan disebut kudus, Anak Allah. Dan sesungguhnya, Elisabet, sanakmu itu, iapun sedang mengandung seorang anak laki-laki pada hari tuanya dan inilah bulan yang keenam bagi dia, yang disebut mandul itu. Sebab bagi Allah tidak ada yang mustahil." Kata Maria: "Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu." Lalu malaikat itu meninggalkan dia. (Luk 1:26-38)
Dari perikop diatas kita mengetahui, bahwa dengan penuh iman dan penyerahan diri secara total kepada penyelenggaraan ilahi, Bunda maria berani menjawab panggilan Allah.
Dalam perjalanan Hidupnya Bunda Maria mempunyai relasi yang sangat mesra dengan Putranya Yesus Kristus, sejak ada dalam kandungan serta sampai wafat-Nya, karena ia telah dipilih oleh Allah menjadi Bunda Allah. Lewat kedekatan relasi inilah yang menjadikan Gereja katolik memppunyai keyakinan bahwa Maria sungguh-sungguh istimewa, baik dihadirat Allah maupun manusia. Maria dengan melahirkan Yesus Sang Penyelamat dan Kehidupan kita, membawa banyak orang kepada Keselamatan; dan dengan melahirkan Sang Hidup itu sendiri, ia memberikan kehidupan untuk banyak orang. Maka, Bunda Maria sebagai Bunda Penyelamat menjalankankan peran yang istimewa di dalam rencana Keselamatan Allah. Memang benar jika dikatakan bahwa rencana keselamatan Allah merangkul semua orang (lih. I Tim 2:4), namun secara khusus Allah menyediakan tempat bagi Bunda Maria, yaitu seorang “perempuan” yang dijadikanNya sebagai Ibu Yesus Sang Putera Allah dan Sang Juru Selamat. Rencana Allah ini telah dinubuatkan oleh para nabi,“Sesungguhnya, anak dara itu akan mengandung dan melahirkan seorang anak laki-laki dan mereka akan menamakan Dia Immanuel, yang berarti, “Allah menyertai kita.” (Mat 1:23). Hanya karena ketaatan Bunda Maria, maka kelahiran Yesus yang dinubuatkan oleh para nabi selama sekitar 2000 tahun terpenuhi. Hanya karena kesediaan Maria, maka Allah Putera menjelma menjadi manusia, dan Bunda Maria adalah ibu dari Sang Immanuel, “Allah yang beserta kita” tersebut. Dalam diri Maria digenapi rencana keselamatan Allah, “tetapi setelah genap waktunya, maka Allah mengutus Anak-Nya yang lahir dari seorang perempuan dan takluk kepada hukum Taurat.” (Gal 4:4). Dan, sungguh Allah Putera itulah yang dikandung oleh Bunda Maria, sesuai dengan Kabar Gembira dari malaikat, “….sebab anak yang akan kaulahirkan itu akan disebut kudus, anak Allah.” (Luk 1:35) Oleh karena itu, Elisabeth menyebut Bunda Maria sebagai “ibu Tuhanku.” (Luk 1:1-43) dan karena itu kita juga memanggil Maria sebagai Bunda Allah.
Tuhan, sebagai Allah Bapa yang Maha Pengasih mengiginkan agar setiap orang menjadi anak-Nya di dalam Kristus Putera-Nya, yang di dalam Roh Kudus-Nya dapat memanggil-Nya sebagai “Abba! Bapa!” (lih. Gal 4:6). Oleh karena itu, saat genaplah waktunya, Allah mengirimkan Putera-Nya, Yesus Kristus, melalui Bunda Maria yang diurapi oleh Roh Kudus. Pada saat Maria menjawab, “Terjadilah padaku menurut perkataanmu (Luk 1:38), terwujudlah karya Tuhan yang sangat ajaib: Allah yang tak terbatas oleh waktu, masuk ke dalam ruang waktu dan menjadi bagian dari sejarah umat manusia. Dengan demikian, sejarah manusia dikuduskan dan diisi dengan misteri Kristus. Penggenapan janji Allah ini menandai permulaan dari perjalanan Gereja, di mana Maria sebagai anggota pertamanya menjadi teladan bagi Gereja sebagai mempelai dan ibu, dengan menyatakan “ya” pada pemenuhan Perjanjian Baru.
Lewat perjalanan sejarah Gereja dalam bimbingan Roh Kudus, lewat berbagai konsili Nicea, Konsili Efesus, konsili Kalcedon menetapkan bahwa Yesus sebagai Anak Allah, yang memang sungguh-sungguh Allah oleh karena sehakikat dengan Bapa, menjadi daging, menjadi manusia begitu rupa, sehingga Ia adalah Allah dan manusia (secara serentak), namun tetap satu. Karena Yesus adalah benar-benar Allah, maka ibu Yesus menjadi ibu Allah. Istilah "Mater Dei" (bahasa latin) yang artinya Bunda Allah, mulai disebut pada abad ke IV 

Gelar Maria sebagai Tabut Perjanjian & Dogma Immaculata
St. Maria digelari tabut perjanjian, apakah ada dasarnya dalam kitab suci tentang hal tersebut? Pertama-tama marilah kita lihat apakah itu tabut perjanjian? Tabut Perjanjian yang berisi manna, tongkat harun dan loh batu: Ibrani 9:4 "Di situ terdapat mezbah pembakaran ukupan dari emas, dan tabut perjanjian yang seluruhnya disalut dengan emas, di dalam tabut perjanjian itu tersimpan buli-buli emas berisi manna, tongkat Harun yang pernah bertunas dan loh-loh batu yang bertuliskan perjanjian.Tabut perjanjian adalah tempat untuk menyimpan 10 Perintah Allah. tabut perjanjian dibuat sebagus dan sebaik mungkin (lihatlah pada keluaran 25:10-22) lalu sesudah semua itu dilakukan Tuhan pun hadir dalam bentuk (dng tanda) awan (lihatlah pada keluaran 40:34) maka kesimpulannya untuk menaruh Firman Allah diperlukan tempat yang terbaik demikian halnya dengan Maria yang harus mengandung Yesus yang adalah Firman. Maria di-identifikasi sebagai Tabut Perjanjian Baru (The Ark of the New Covenant).
`           Yesus adalah Roti yang turun dari Surga = Manna: Yohanes 6:32-35 "Maka kata Yesus kepada mereka: 'Aku berkata kepadamu, sesungguhnya bukan Musa yang memberikan kamu roti dari surga, melainkan Bapa-Ku yang memberikan kamu roti yang benar dari surga. Karena roti yang dari Allah ialah roti yang turun dari surga dan yang memberi hidup kepada dunia...Akulah roti hidup, barangsiapa datang kepada-Ku, ia tidak akan lapar lagi, dan barangsiapa percaya kepada-Ku, ia tidak akan haus lagi."
Yesus adalah Imam Agung = Tongkat Harun: Ibrani 8:1 "Inti dari segala yang kita bicarakan itu ialah: kita mempunyai Imam Besar yang demikian, yang duduk di sebelah kanan tahta Yang Mahabesar di surga"
Yesus adalah Sang Firman = 10 Perintah Allah: Yohanes 1:1 "Pada mulanya adalah Firman, Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah"
Seperti Daud berkata tentang tabut perjanjian, (2 Samuel 6:9 " Pada waktu itu Daud menjadi takut kepada Tuhan, lalu katanya: 'Bagaimana tabut Tuhan itu dapat sampai kepadaku?') demikian pula Elizabeth berkata tentang Maria: (Lukas 1:43 "Siapakah aku ini sampai ibu Tuhanku datang mengunjungi aku?") Juga ada adegan dimana Daud melonjak-lonjak/menari gembira di depan tabut perjanjian dan pararelnya bisa ditemukan pada ayat Lukas 1:44 "Sebab sesungguhnya, ketika salammu sampai kepada telingaku, anak yang di dalam rahimku melonjak kegirangan"
Wahyu 11:19 dan 12:1 "Maka terbukalah Bait Suci Allah yang di surga, dan kelihatanlah tabut perjanjian-Nya di dalam Bait Suci itu dan terjadilah kilat dan deru guruh dan gempa bumi dan hujan es lebat."  "Maka tampaklah suatu tanda besar di langit: Seorang perempuan berselubungkan matahari, dengan bulan di bawah kakinya dan sebuah mahkota dari dua belas bintang di atas kepalanya."
Dari uraian diatas Gereja Katolik percaya Maria dikandung tidak bernoda dosa asal karena Maria mengandung Yesus sang sabda yang menjadi Manusia (lihat pada yohanes 1:1-18) kita tahu bahwa Allah tidak mungkin bersatu dengan dosa karena Allah adalah Kudus (lihatlah pada Yes 6:3) dan jika kita tidak suci maka kita tidak akan melihat Allah (Ibrani 12:14) apalagi Maria yang harus mengandung Allah yang menjelma menjadi manusia. Pada Lukas 1:28 "engkau yang dikaruniai" menurut salah seorang Bapa Gereja yang bernama Origenes kata dikaruniai hanya diberikan kepada Maria hal itu dikarenakan Maria dibebaskan dari noda dosa sehingga ia layak menyandang gelar "yang dikaruniai" dosa asal dan dosa pribadi menghalangi orang untuk menerima Karunia sedangkan pada Maria mendapat gelar "yang dikaruniai" maka ini menunjukkan Maria dibebaskan dari noda dosa (saya sudah cek dari Konkordasi kitab suci memang kata dikaruniai hanya ada pada lukas 1:28) oleh sebab itulah Martin Luther (Tokoh Reformasi Protestan) mengatakan: "She is full of grace, proclaimed to be entirely without sin - something exceedingly great. For God's grace fills her with everything good and makes her devoid of all evil." (Personal {"Little"} Prayer Book, 1522). maka karena hal itu Gereja Katolik percaya Maria dipersiapkan dari awal mula untuk mengandung Yesus sang sabda, hal itu mungkin sekali karena sebelum kita lahir Allah sudah mengenal kita (lihatlah pada Yeremia 1:5) dan tentunya karena Maria akan mengandung sang Sabda tentunya Maria dipersiapkan sebaik mungkin oleh Allah sama halnya bila kita mengambil analogi dari tabut perjanjian dimana tabut perjanjian dipersiapkan dari awal (sebelum tabut itu terbentuk misalnya harus disepuh emas,dll) untuk menyimpan sabda Allah. Hal ini tidak bertentangan dengan Roma 3:23 karena Maria bebas dari noda Dosa juga karena Rahmat Penebusan dari Yesus Kristus yang akan dikandungnya jadi Maria memang tetap memerlukan penyelamat itulah makanya Maria berkata "hatiku bergembira karena Allah, Juruselamatku," (lukas 1:47) ini menunjukkan bahwa Maria tetap butuh seorang penyelamat.

Gelar Maria diangkat ke Surga
Dalam Gereja Katolik St. Maria dipercaya diangkat ke Surga dengan jiwa & Raganya setelah meninggal dunia hal ini menjadi Dogma dalam Gereja Katolik yang dimaklumkan pada 1 November 1950 oleh Paus Pius XII. Dogma ini bukan sesuatu yang jatuh dari langit tetapi sudah lama hal ini dihayati dalam Tradisi Apostolik. Bila kita mereview Dogma ini dalam Kitab Suci ini merupakan suatu hal yang panjang dan rumit sekali kita akan membahasnya dengan lebih jelas bila kita sudah memahami Dogma Maria Immaculata.
Dalam Perjanjian Lama ada 2 orang yang kesurga tanpa mengalami kematian yakni Henokh & Elia. Jika Henokh dan Elia tidak dipersiapkan secara Khusus oleh Allah untuk mengandung Yesus dengan dibebaskan dari segala Noda dosa apalagi Maria yang sudah dipersiapkan secara Khusus. Henokh & Elia tidak mendapat gelar "yang dikaruniai"(Lukas 1:28) dapat diangkat ke Surga apalagi Maria yang mendapat Gelar itu. selain itu, St. Paulus dalam surat-suratnya juga menyatakan bahwa dimungkinkan adanya pengangkatan ke surga (bdk 1tes 4:17, 2kor 12:2). Jika demikian, mengapa Maria tidak mendapat kehormatan tersebut?
Dogma Maria diangkat ke Surga didasari karena ia dipersatukan erat dengan Puteranya "Dan suatu Pedang akan menembus jiwamu sendiri" (lukas 2:35) ini menunjukkan perasaan yang akan dialami Maria perihal Yesus yang di ditentukan untuk menjatuhkan atau membangkitkan ........ (Lukas 2:34) ini menunjukkan kedekatan antara Maria & Yesus demikian halnya ketika Yesus wafat, bangkit dan naik ke Surga. Maria juga mengalami kematian, tetapi dibangkitkan dengan jiwa & raganya untuk bersatu dengan Puteranya disurga itulah juga yang dialami oleh semua orang yang diselamatkan oleh Yesus (1 Tes 4:17) jadi Dogma Maria diangkat ke Surga menyatakan bahwa Maria mendahului semua orang lain menikmati keselamatan yang dikerjakan Yesus Kristus karena ia dipersatukan erat dengan Puteranya.
Dalam Wahyu 11:19 dikatakan "Maka terbukalah Bait Suci Allah yang di surga, dan kelihatanlah tabut perjanjian-Nya di dalam Bait Suci itu dan terjadilah kilat dan deru guruh dan gempa bumi dan hujan es lebat." disini dinyatakan bahwa Tabut perjanjian berada didalam surga lalu Wahyu 12:1-6"Maka tampaklah suatu tanda besar di langit: Seorang perempuan berselubungkan matahari, dengan bulan di bawah kakinya dan sebuah mahkota dari dua belas bintang di atas kepalanya....." jelas disini adalah Maria dan wahyu 11:19 sambungannya langsung adalah Wahyu 12:1-dst jadi setelah terlihat tabut perjanjian-Nya maka ada kilat,dll sesudah itu tanda besar di langit: Seorang perempuan berselubungkan.....dst....... ini menunjukkan bahwa tabut perjanjian ada di Surga dan tabut perjanjian itu adalah Maria jadi langsung atau tidak langsung Yohanes hendak mengatakan bahwa Maria ada di Sorga dengan Tubuhnya juga bukan hanya rohnya saja. mengapa? karena Tubuh Maria adalah Tabut perjanjian dimana Sang sabda yaitu Yesus yang menjelma menjadi Manusia dikandung ditubuhnya (lebih jelasnya baca uraian diatas tentang tabut perjanjian baru). lalu diperkuat dalam Wahyu 12:6 muncul kesan bahwa Maria memang disediakan suatu tempat oleh Allah dan bisa saja St. Yohanes hendak mengatakan bahwa Maria sesudah selesai segala tugasnya Maria diberi tempat Khusus.  Itulah sebabnya Para Kudus pada masa awal kekristenan bersaksi:
  • St. Gregory (594 AD), bishop of Tours, declared that "the Lord . . . commanded the body of Mary be taken in a cloud into paradise; where now, rejoined to the soul, Mary reposes with the chosen ones."
  • St. Germaine I (+732 AD), Patriarch of Constantinople, speaks thusly to Mary, "Thou art . . . the dwelling place of God . . . exempt from all dissolution into dust."
  • St. John Damascene asserted, "He who had been pleased to become incarnate (of) her . . . was pleased . . . to honor her immaculate and undefiled body with incorruption . . . prior to the common and universal resurrection."
Sampai sekarang, tidak pernah ditemukan kubur St. Maria. padahal kita tahu umat Kristen perdana sangat menghormati Maria, mustahil jika misalnya makam Bunda Maria tidak dijaga dan dilestarikan.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan, bahwa apa yang terjadi pada Maria, dapat terjadi pada kita umat beriman. Maria adalah typos (model) Gereja. Maria Dikandung tanpa Noda Dosa karena dipersiapkan untuk menghadirkan Kristus melalui dirinya [lihat penjelasan tabut perjanjian] untuk menjalankan rencana penyelamatan Allah, kita menjadi bebas noda dosa (dosa asal dan dosa sebelum pembabtisan) pada saat pembabtisan [walaupun dalam perjalanan hidup sesudah pembabtisan kita dapat berbuat dosa kembali] untuk mempersiapkan kehadiran Yesus dalam diri kita sehingga dapat kita wartakan pada masyarakat sehingga benarlah yang dikatakan oleh Paulus “namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku” (Galatia 2:20). Maria Diangkat ke Surga setelah wafatnya, kitapun akan dibangkitkan pula dengan jiwa dan raga kita, kita akan mengenakan tubuh yang baru yang tidak akan binasa lagi (lih. 1Kor 15:50-54) setelah kita wafat.

Maria Sebagai Penebus Serta
Walaupun hingga kini belum diakui secara resmi oleh Bunda Gereja (Magisterium, Kolegium Para Uskup Gereja Katolik seluruh dunia di bawah pimpinan Paus sebagai uskup Roma), umat Kristen Katolik juga menyebut Bunda Maria Penebus Serta (Coredemtrix =penebus serta, kawan atau rekan penebus). Dengan gelar penebus serta tidak berarti kita memiliki dua penebus, penebus dan juru selamat kita hanya Yesus Kristus (Lihat Yoh 14:6; Kis 4:12; Mat 20:28; Mrk 10:45; 1Tim 2:6). Maria mendapat Gelar Penebus serta karena ia memegang peranan yang sangat penting dalam sejarah keselamatan. Bila kita perhatikan Lukas 1:38 "Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu." disini jelas bahwa Maria mau mengandung Yesus yang adalah Juruselamat dan Penebus (dengan segala konsekuensinya bahkan Penderitaan dan kepedihan "dan suatu pedang akan menembus jiwamu sendiri" Luk 2:35), Maria bisa saja menolak, karena setiap manusia dikaruniai kehendak bebas (bdk Ul 30:19), nah inilah yang menjadikan Maria sebagai penebus serta, karena ketidaktaatan manusia akan kehendak Allah "ditebus" dengan Ketaatan Maria kepada kehendak Allah. Itulah sebabnya para Bapa Gereja mengatakan bahwa Maria adalah Hawa yang baru (a new Eve) hal itu diungkapkan oleh St. Justinus Martir dan Irenaeus pada Abad ke 2 bahkan St. Hieronimus mengatakan "Per Evam mors, per Mariam vita" Maut datang melalui Hawa, kehidupan datang melalui Maria.
            Dalam hal ini Maria tidak ikut menebus seperti Yesus, tetapi maria membuka jalan sehingga karya Penebusan itu terjadi. Kerjasama yang erat antara Allah dan Maria membuat karya keselamatan itu terjadi karena itulah Maria mendapat gelar Penebus serta atau Rekan Penebus (Co Redemptrix)
            Ada anggapan bahwa Kita akan semakin sulit mengerti gelar Maria sebagai Coredemtrix bila kita berhadapan dengan gelar Maria "dikandung tanpa noda dosa" (dogma: Maria Immaculate Conception).Dogma Maria "dikandung tanpa noda dosa asal" maksudnya bahwa sejak Maria dikandung oleh ibunya (St. Anna), Maria telah dilindungi atau ditebus secara istimewa oleh Allah sehingga ia tidak terkena dosa asal Adam-Hawa agar layak menjadi ibu Juru Selamat Yesus Kristus. Masalah: Kita percaya bahwa karya penebusan Yesus Kristus itu bersifat universal. Maksudnya, semua orang, tanpa kecuali, sejak Adam dan Hawa, ditebus Yesus dari dosa asal. Tapi kita yakin bahwa Maria sudah bebas dari dosa asal, maka Maria tidak terkena karya penebusan Yesus. Akibat lebih lanjut karya penebusan Yesus tidak universal. Persoalan ini dijelaskan Gereja dengan mengatakan bahwa karya penebusan Yesus Kristus tidak dibatasi ruang dan waktu. Yesus sudah mulai menebus secara sebelum Ia menjelma menjadi manusia. Ia sudah menebus ibuNya Maria dari noda dosa asal sebelum supaya layak menjadi BundaNya, dan dengan demikian karya penebusan Yesus tatap universal. Kalau kita percaya bahwa sebagai Allah karya penebusan Yesus bisa saja tidak terbatas oleh ruang dan waktu. Ia bisa saja sudah mulai berkarya secara efektif sebelum menjelma menjadi manusia. Tapi dalam hubungan dengan gelar coredemtrix, bagaimana kita bisa mengerti kalau Maria juga sudah ikut menebus bersama Yesus sejak sebelum Ia menjadi menusia? --> Terhadap masalah ini pertama-tama kita harus melihat bahwa Maria tidak ikut menebus seperti Yesus. lalu hubungannya dengan Dogma Maria dikandung tidak bernoda asal adalah sbb: Maria dikandung tidak bernoda untuk mengantisipasi kelahiran Yesus sehingga Maria sejak dalam kandungan ibunya bebas dari noda dosa sehingga Maria menikmati karya penebusan itu terlebih dahulu, tetapi Maria itu tetap seorang manusia dan dengan demikian ia memiliki kehendak bebas untuk memutuskan sesuatu (bdk Ul 30:19). lalu Maria memilih taat kepada kehendak Allah dengan mau dan bersedia melahirkan Yesus, maka ketika ia menyetujui untuk mengandung Yesus maka ia setuju untuk bekerjasama dengan Allah dalam mewujudkan karya keselamatan dengan hal inilah ia disebut Rekan Penebus (Penebus Serta / Co-Redemptor)

Hari-hari Resmi
Sudah berabad-abad lamanya Gereja menghormati Bunda Maria. Keyakinan bahwa Maria ini sudah mulia dan berbahagia selamanya di surga de facto telah men- dorong anggota Gereja untuk berlari ke bawah perlindungannya serta memohon bantuan darinya terhadap segala maraba--haya yang mengancam hidupnya. Devosi Maria ini dapat berupa "Cultus Privatus" (Rosario, Ziarah, Novena, dll). Namun dalam liturgi resmi Gereja sepanjang tahun dirayakan pesta pesta atau peringatan - peringatan yang berkenaan dengan Bunda Maria. Ini yang disebut "Cultus Publicus", dengan konsekwensi seluruh Gereja terlibat. Menurut kalenderium liturgi sekurang-kurangnya ada 18 (delapan belas) perayaan (sepanjang tahun) yang berhubungan dengan Bunda Maria: 

Tujuh (7) perayaan kelas satu(solemnitas), yaitu :
  • 1 Januari : Santa Maria Bunda Allah;
  • 6 Januari, Penampakan Tuhan ;
  • 19 Maret, St. Yusuf (suami Maria);
  • 25 Maret, Kabar Sukacita;
  • 15 Agustus, Santa Perawan Maria Diangkat ke Surga;
  • 8 Desember, Santa Perawan Maria Dikandung Tanpa Dosa;
  • 25 Desember, Kelahiran Yesus.

Lima (5) perayaan kelas dua (festum), yaitu :
  • 2 Febuari, Yesus dipersembahkan Dalam Kenisah;
  • 31 Mei, Maria Mengunjungi Elizabet;
  • 22 Agustus, Santa Perawan Maria, Ratu;
  • 8 September, Kelahiran Santa Perawan Maria;
  • 30 Desember, Keluarga Kudus
                     
Enam (6) perayaan kelas tiga (memoria), yaitu :
  • 11 Februari, Santa Perawan Maria di Lourdes;
  • 16 Juli, Santa Perawan Maria di Gunung Karmel;
  • 26 Juli, Yoakim dan Anna (orang tua Maria);
  • 15 September, Santa Perawan Maria Berdukacita;
  • 7 Oktober, Rosario Santa Perawan Maria;
  • 21 November, Santa Perawan Maria Dipersembahkan Dalam Bait Allah
Dari perkembangan devosi ini diketahui, bahwa pada pokoknya anggota umat Allah "mendekati" Bunda Maria karena selain didesak oleh kerinduan untuk menyerupai jalan hidup Maria yang nampaknya membahagiakan; juga didorong untuk sampai kepada Yesus Kristus melalui Maria, Bunda-Nya, Per Mariam ad lesum!

Delapan butir motif berdevosi Maria
  • Pertama, devosi ini terdorong untuk membaktikan diri secara menyeluruh demi pengabdian kepada Allah.
  • Kedua, devosi membuat kita mengikuti jejak Kristus dan meneladan kerendahan-Nya.
  • Ketiga, devosi membuahkan kesadaran panggilan dan tugas kehidupan seperti Maria.
  • Keempat, devosi merupakan sarana unggul untuk menjaga kemuliaan Allah yang lebih besar.
  • Kelima, devosi mengantar kita pada kesatuan dengan Tuhan secara singkat menyenangkan.
  • Keenam, devosi memberi kita kebebasan mendalam yang merupakan dambaan sebagai anak-anak Allah (bdk.Rm.8:21).
  • Ketujuh, devosi mendapatkan rahmat agung bagi sesama kita.
  • Kedelapan, devosi merupakan sarana ketekunan yang mengagumkan

Senin, 29 September 2014

Refleksi Pendidikan Iman Katolik di Dalam Keluarga, Paroki dan Sekolah





Pendidikan iman anak merupakan pondasi Gereja dalam membentuk dan mendirikan bangunan iman Gereja. Tidak perlu kita pungkiri, permasalahan pendidikan katolik menjadi masalah yang perlu kita hadapi bersama namun sayang kurang sentuhan dan perhatian. Mungkin sebegitu pelik dan besarnya permasalahan pendidikan iman ini sehingga kita enggan menyentuhnya.
Hal kurangnya pendidikan iman anak terlihat tidak saja di rumah, di tengah keluarga, tetapi juga di sekolah, bahkan di sekolah Katolik, dan juga di paroki. Seandainya sudah ada sekalipun, patutlah kita pertanyakan, apakah sudah cukup memadai, terutama jika ada cukup banyak umat Katolik yang meninggalkan Gereja Katolik.

1. Kurangnya pendidikan iman Katolik di dalam keluarga
Dewasa ini ada banyak anak- anak yang menganggap rumah hanya sebagai tempat makan dan tidur. Kedua orang tua sibuk dengan urusan mereka masing-masing, sehingga tidak ada waktu yang cukup untuk berkomunikasi dengan anak-anak. Jika berkomunikasi tentang hal-hal yang sehari- hari saja sudah kurang, apalagi pembicaraan tentang Tuhan dan iman Katolik. Kurangnya perhatian dari orang tua ini mengakibatkan anak-anak mencari kesenangannya sendiri, asyik dengan dunia mereka sendiri, dan mencari pemenuhan kebutuhan mereka untuk diperhatikan dan dikasihi dengan cara mereka sendiri. Sebagian mungkin mendapatkannya dari permainan game di komputer/ internet, chatting di FB (Face book), BBM (BlackBerry Messenger), nonton TV atau jalan- jalan/ shopping di Mall. Anak- anak dewasa ini berkembang menjadi pribadi yang cenderung individualistik daripada berorientasi komunal dan berinteraksi langsung dengan orang- orang di sekitar mereka. Atau, kesenangan sesaat dan kehidupan hura- hura yang serba instan menjadi pilihan banyak anak muda sekarang ini. Soal iman? Bagi mereka sepertinya hanya prioritas kedua, atau bahkan bahkan tidak menjadi prioritas sama sekali. Soal Tuhan? Mungkin kurang menarik perhatian mereka. Dalam kondisi ini, orang tua seolah tak berdaya, dan akhirnya menyerah sambil berkata, ‘Jaman sekarang memang berbeda dengan jaman dulu…. Sekarang terserah anaknya saja deh, kita orang tua hanya dapat mendoakan…. ’
Suatu ironi, sebab seharusnya tugas utama orang tua adalah mendidik anak- anak agar mereka mengenal dan mengasihi Allah, dan karena mengasihi Allah, mereka dapat mengasihi sesama; dan dengan demikian orang tua menghantar anak- anak mereka ke Surga. Jadi sesungguhnya pembentukan karakter anak sampai menjadikan mereka pribadi- pribadi yang mengutamakan Allah, merupakan tugas orang tua. Sejauh mana hal ini dilakukan oleh para orang tua, jika sehari- harinya anak- anak menghabiskan sebagian besar waktu di depan komputer/ TV atau alat- alat komunikasi lainnya, tanpa atau sedikit sekali berkomunikasi dengan orang tua? Bagaimana orang tua dapat menampakkan wajah Tuhan bagi anak- anak, jika sehari- harinya anak- anak jarang melihat wajah orang tua mereka? Atau jika orang tua ada di rumah, apakah mereka memberikan perhatian khusus kepada anak- anak, ataukah malah sibuk dengan urusan mereka sendiri? Sejauh mana orang tua mengarahkan anak- anak, sehingga di tengah kesibukan mereka, anak- anak tetap mau berdoa dan membaca Kitab Suci?

2. Kurangnya pendidikan iman Katolik di sekolah
Pendidikan iman Katolik juga tidak mudah diperoleh di sekolah-sekolah, baik di sekolah negeri maupun juga di sekolah- sekolah Katolik sendiri. Adanya kondisi pluralitas di masyarakat kita menjadikan sekolah-sekolah Katolik sepertinya kehilangan jati diri dalam menyampaikan ajaran iman Katolik. Pendidikan iman Katolik umumnya diidentikkan dengan mata pelajaran Agama sekali seminggu (lebih parahnya pelajaran agama katolik disamakan dengan pelajaran religiusitas), dan diadakannya Misa Kudus bagi semua murid sebanyak sebulan sekali. Dari pengalaman kami pribadi, penekanan yang lebih ditekankan adalah perbuatan baik, dan hanya sedikit pembahasan tentang iman Katolik. Akibatnya anak- anak tidak sungguh- sungguh mengenal iman Katolik, atau mengenalnya hanya sebatas hafalan dalam pelajaran Agama, namun kurang menangkap esensinya sebagai yang mendasari segala perbuatan mereka. Pengenalan akan Kristus relatif minim, sehingga anak- anak tidak atau kurang mempunyai hubungan yang pribadi dengan Kristus. Pengenalan tentang arti Gereja juga kurang memadai, sehingga mereka tidak merasa sebagai bagian di dalamnya dan tidak berkeinginan untuk membaktikan diri membangun Gereja demi kasih mereka kepada Kristus. Dalam kondisi semacam ini tak mengherankan jika angka panggilan imamat atau kehidupan religius merosot.
Pendidikan iman yang komprehensif juga nampaknya masih merupakan ‘barang langka’ di tanah air. Artinya, pendidikan iman Katolik yang terintegrasi dengan semua mata pelajaran yang lain, mulai dari sejarah umat manusia, ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial, bahasa Inggris dan bahasa Indonesia, kesenian, dst. Para guru juga mempunyai tanggung jawab untuk tidak hanya menjadi pengajar ilmu untuk mengisi otak, namun juga teladan iman untuk mengisi hati para murid mereka. Memang untuk melakukan hal- hal ini tidak mudah, dan memerlukan kerja keras dari pihak pengajar dan koordinator kurikulum di sekolah, namun jika dilakukan, sesungguhnya sangat baik.

3. Kurangnya pendidikan iman Katolik di paroki
Di paroki, pendidikan iman Katolik pada anak-anak juga mempunyai permasalahannya sendiri. Tantangan yang dihadapi oleh para orang tua dan guru di sekolah, sebenarnya juga dihadapi oleh para pengajar/katekis di paroki. Bagaimana memperkenalkan Kristus dan misteri Paska-Nya kepada anak-anak se-efektif mungkin, menjadi PR (Pekerjaan rumah) para guru Bina Iman/katekis dan juga para imam di paroki. Bina Iman bukan sekedar tempat berkumpulnya anak- anak untuk bermain dan mewarnai, melainkan sarana untuk menyampaikan pengajaran iman yang dapat masuk di dalam pikiran dan hati anak- anak, sehingga mereka dapat bersuka cita dan mensyukuri karunia iman yang Tuhan sudah berikan kepada mereka.
Dewasa ini tenaga pengajar Bina Iman ataupun katekisasi secara umum adalah tenaga sukarela, dan banyak di antaranya yang tidak secara khusus dibekali dengan latar belakang sebagai pengajar iman Katolik. Dengan demikian, sangatlah logis jika memang para katekis membutuhkan buku panduan yang dapat dijadikan acuan untuk mengajar. Di beberapa pertemuan guru-guru Bina Iman, evaluasi yang disampaikan antara lain menyebutkan kesulitan mereka untuk memperoleh bahan-bahan pengajaran (yang lengkap: dengan kisah, pembahasan, permainan, gambar, nyanyian, dari kisah- kisah Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru) untuk disampaikan kepada anak- anak. Umumnya mereka harus ‘meracik’ sendiri bahan pengajaran di antara tim pengajar. Dengan demikian, diperlukan waktu untuk membicarakannya dan mempersiapkannya, dan ini tidak selamanya hal ini mudah bagi para relawan pengajar, di tengah- tengah kesibukan mereka dalam pekerjaan/ keluarga.
Selain itu, jika diperhatikan, terdapat waktu jeda bagi pembinaan iman anak, yaitu periode antara waktu setelah Komuni Pertama sampai menjelang penerimaan Sakramen Penguatan/ Krisma. Ada beberapa paroki yang telah mengadakan Bina Iman Remaja, atau merekomendasikan anak- anak ini untuk bergabung dengan dalam komunitas Putera/i Altar. Namun kita mengetahui bahwa hanya sedikit prosentase jumlah anak- anak dalam paroki yang tergabung dengan kegiatan ini. Maka kelompok mayoritas anak- anak di paroki tidak ‘tertangani’ pendidikan imannya.
Dewasa ini kitapun perlu memberikan perhatian kepada anak- anak Katolik yang bersekolah di sekolah- sekolah National plus, yang juga kurang mendapat pengajaran tentang iman Katolik. Prosentase jumlah anak- anak ini nampaknya terus menanjak setiap tahunnya, dan banyak di antara mereka mempunyai kesulitan untuk bergabung dalam kegiatan Bina Iman di paroki, antara lain karena bahasa yang digunakan dalam proses katekese tersebut adalah bahasa Indonesia, sedangkan anak- anak ini lebih terbiasa menggunakan bahasa Inggris untuk berkomunikasi.

Bagaimana seharusnya?
Konsili Vatikan II dalam Deklarasi tentang Pendidikan Kristiani (Gravissimum Educationis) menyatakan tujuan pendidikan secara umum, dan pendidikan Kristiani secara khusus, demikian:

1. Secara umum
“Tujuan pendidikan dalam arti sesungguhnya ialah: mencapai pembentukan pribadi manusia dalam perspektif tujuan terakhirnya dan demi kesejahteraan kelompok-kelompok masyarakat, di mana ia  sebagai manusia, adalah anggotanya, dan bila sudah dewasa ia akan mengambil bagian menunaikan tugas kewajiban di dalamnya.”
Tujuan terakhir manusia yang dimaksud di sini adalah kehidupan kekal bersama Allah di Surga. Dengan demikian, pendidikan secara umum harus mengarah kepada pembentukan (formation) pribadi manusia secara utuh, baik dari segi fisik, moral, intelektual agar anak- anak dapat menjadi manusia yang bertanggung jawab di dalam menghadapi kehidupan ini, agar kelak dapat masuk dalam Kerajaan Surga.

2. Secara khusus
a.  Pendidikan Kristiani bertujuan untuk pendalaman misteri keselamatan, iman, makna kekudusan, memberi kesaksian tentang pengharapan Kristiani.
“Pendidikan Kristiani itu tidak hanya bertujuan pendewasaan pribadi manusia seperti telah diuraikan, melainkan terutama hendak mencapai, supaya mereka yang telah dibaptis langkah demi langkah semakin mendalami misteri keselamatan, dan dari hari ke hari makin menyadari kurnia iman yang telah mereka terima; supaya mereka belajar menyembah Allah Bapa dalam Roh dan kebenaran (lih. Yoh 4:23), terutama dalam perayaan Liturgi; supaya mereka dibina untuk menghayati hidup mereka sebagai manusia baru dalam kebenaran dan kekudusan yang sesungguhnya (Ef 4:22-24); supaya dengan demikian mereka mencapai kedewasaan penuh, serta tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus (lih. Ef 4:13), dan ikut serta mengusahakan pertumbuhan Tubuh Mistik. Kecuali itu hendaklah umat beriman menyadari panggilan mereka, dan melatih diri untuk memberi kesaksian tentang harapan yang ada dalam diri mereka (lih. 1Ptr 3:15) serta mendukung perubahan dunia menurut tata-nilai Kristiani …”
b. Pendidikan Kristiani harus menanamkan nilai- nilai esensial di dalam hidup manusia
“Bahkan di tengah kesulitan- kesulitan karya pendidikan, kesulitan- kesulitan yang kadang lebih besar dewasa ini, para orang tua harus dengan yakin dan berani mendidik anak- anak mereka tentang nilai- nilai esensial di dalam hidup manusia. Anak- anak harus tumbuh dengan sikap yang benar tentang kemerdekaan [ketidak- terikatan] terhadap barang- barang materi, dengan menerapkan gaya hidup yang sederhana dan bersahaja, yakin bahwa “manusia itu lebih berharga karena apa adanya dia daripada karena apa yang dia miliki.” Adalah suatu permenungan, sejauh manakah hal- hal yang disebutkan di atas dilakukan di dalam keluarga, di sekolah dan di paroki?

Pendidikan iman Katolik di dalam keluarga
a.   Orang tua adalah pendidik pertama dan utama anak- anak
“Karena orang tua telah menyalurkan kehidupan kepada anak-anak, orang tua terikat kewajiban amat serius  untuk mendidik anak-anak mereka. Maka orang tualah yang harus diakui sebagai pendidik yang pertama dan utama bagi anak- anak mereka”. Dengan demikian, orang tua harus menyediakan waktu bagi anak- anak untuk membentuk mereka menjadi pribadi- pribadi yang mengenal dan mengasihi Allah. Kewajiban dan hak orang tua untuk mendidik anak- anak mereka tidak dapat seluruhnya digantikan ataupun dialihkan kepada orang lain.
Orang tua sebagai pendidik utama dalam hal iman kepada anak- anak berarti orang tua harus secara aktif mendidik anak- anak dan terlibat dalam proses pendidikan anak- anaknya. Orang tua sendiri harus mempraktekkan imannya, berusaha untuk hidup kudus, dan terus menerapkan ajaran iman dalam kehidupan keluarga di rumah. Ini adalah sangat penting, agar anak melihat bahwa iman itu bukan hanya untuk diajarkan tetapi untuk dilakukan, dan diteruskan lagi kemudian, jika anak- anak sendiri membentuk keluarga di kemudian hari.
Sebagai pendidik utama, maka orang tua harus terlibat dalam proses pendidikan yang dilakukan oleh sekolah, dan orang tua bertugas membentuk  anak- anaknya. Orang tua harus mengetahui apa yang sedang dipelajari oleh anak- anaknya di sekolah, buku- buku yang mereka baca, bagaimana sikap dan tabiat anaknya di sekolah, siapakah teman- teman anak- anaknya, dan sebagainya. Tugas dan tanggungjawab ini ini tidak dapat dialihkan ataupun dipasrahkan kepada pembantu rumah tangga ataupun guru les. Orang tua tidak dapat memusatkan perhatian untuk urusan dan pekerjaan mereka sendiri, dan kurang mempedulikan atau kurang mau terlibat dalam pendidikan anak- anak. Mengirim anak- anak untuk les pelajaran, atau menyekolahkan anak di sekolah national plus, tidak menjamin pembentukan karakter anak dengan baik.
Demikian pula dalam hal iman. Banyak orang tua berpikir, asal sudah mengirimkan anak ke Bina Iman, maka tugasnya selesai. Pemikiran sedemikian sungguh keliru. Guru- guru di sekolah, guru les ataupun guru Bina Iman hanyalah membantu orang tua, namun orang tua tetaplah yang harus melakukan tugasnya sebagai pendidik utama. Mendidik anak dalam hal iman sesungguhnya tidak sulit, karena dapat dimulai dari hal-hal sederhana. Namun dibutuhkan komitmen dan pengorbanan dari pihak orang tua, misalnya: berdoa bersama anak- anak dan membacakan kisah Kitab Suci kepada mereka setiap malam, membawa anak- anak ikut Misa Kudus dan sesudahnya menjelaskan kepada anak- anak maknanya, mendorong anak- anak agar mempraktekkan suatu ajaran Sabda Tuhan, memberi koreksi jika anak berbuat salah namun setelahnya tetap merangkul dengan kasih, dst.
Orang tua juga harus mempunyai perhatian kepada pengaruh media massa ke dalam kehidupan anak- anak. Terlalu banyak menonton TV tidak memberikan efek yang baik pada anak, apalagi jika anak- anak menonton TV tanpa pendampingan dari orang tua. Demikian pula dengan terlalu banyak bermain video game, apalagi jika permainannya bersifat kekerasan yang sadis, seperti tembak- tembakan, pembunuhan, dst, yang secara tidak langsung merangsang sifat- sifat agresif pada anak- anak, seperti kemarahan, kekerasan, tidak mau mengalah, dst. Tak kalah seru, adalah kebiasaan ber FB (Face book) di kalangan anak- anak remaja. Jika memungkinkan, silakan orang tuapun ber FB, bukan untuk memata- matai anak, namun untuk mengetahui sekilas lingkungan pergaulan anak. Ada resiko yang umum terjadi, yaitu jika anak terlalu banyak ‘bermain’ sendiri dengan komputer, TV, atau sejenisnya, maka lama kelamaan ia menjadi tidak terbiasa untuk berinteraksi dengan orang lain. Ia menjadi kurang luwes di dalam pergaulan, kurang dapat membawa diri, dan terlalu berpusat kepada diri sendiri. Tidak berarti bahwa TV, game internet dan FB memberikan efek buruk semuanya. Efek negatif itu terjadi  jika yang ditonton, atau yang dimainkan tidak sesuai dengan ajaran iman dan moral; atau yang diajak berkomunikasi adalah orang- orang yang tidak membangun iman, atau malahan menjerumuskan mereka; atau jika hal menonton TV dan bermain komputer tersebut sampai menyita hampir semua waktu luang. Mengapa? Sebab jika ini yang terjadi, hati dan pikiran anak tidak lagi terarah kepada Tuhan dan Kerajaan-Nya.

b.   Orang tua berkewajiban untuk menyampaikan pendidikan dalam hal nilai- nilai esensial dalam hidup manusia.
Dari orang tualah anak- anak belajar akan nilai- nilai yang esensial dan terpenting di dalam hidup. Nilai- nilai esensial ini menurut Paus Yohanes Paulus II dalam Pengajaran Apostoliknya, Familiaris Consortio, adalah:
1.      keadilan yang menghormati martabat setiap manusia, terutama mereka yang termiskin dan yang paling membutuhkan bantuan;
2.      hukum kasih: memberikan diri untuk orang lain dan memberi adalah suka cita,
3.      pendidikan seksualitas yang menyangkut keseluruhan pribadi manusia, baik tubuh, emosi maupun jiwa;
4.      pendidikan tentang kemurnian (chastity);
5.      pendidikan moral yang menjamin anak- anak bertanggungjawab.

c.   Orang tua harus mengusahakan suasana kasih di rumah
Maka para orang tua harus menciptakan suasana di rumah yang penuh kasih dan penghormatan kepada Tuhan dan sesama, sehingga pendidikan pribadi dan sosial yang menyeluruh bagi anak- anak dapat ditumbuhkan. Kasih orang tua adalah dasar dari pendidikan anak, sehingga kasih itu harus menjiwai semua prinsipnya, disertai juga dengan nilai- nilai kebaikan, pelayanan, tidak pilih kasih, kesetiaan dan pengorbanan. Dalam hal ini, komunikasi antara anak dan orang tua adalah sangat penting, sebab tanpa komunikasi akan sangat sulit menciptakan suasana yang penuh kasih di dalam keluarga.

d. Keluarga harus menjadi sekolah pertama untuk menanamkan kebijakan Kristiani dan orang tualah yang memberikan teladan.
Keluarga harus menjadi sekolah yang pertama untuk menanamkan nilai- nilai dan kebajikan Kristiani, seperti: memaafkan kesalahan orang lain, belajar meminta maaf jika berbuat salah, saling menghormati, saling berbagi, saling menolong, saling menghibur jika ada yang kesusahan, saling memperhatikan terutama kepada yang lemah, sakit, dan miskin, saling mengakui kelebihan dan kekurangan tiap- tiap anggota keluarga, rela berkorban demi kebaikan orang lain, dst. Orang tua selayaknya memberikan teladan dalam nilai- nilai Kristiani tersebut, dan bukan hanya dengan perkataan, tetapi terlebih dengan perbuatan. Anak- anak akan dengan lebih cepat belajar melalui teladan perbuatan orang tua daripada dari apa yang diajarkannya melalui perkataan saja.

e.  Pengajaran tentang iman dalam keluarga dapat dilakukan di setiap kesempatan dan dapat dikemas menarik
Pengajaran tentang Allah dan perintah- perintah-Nya ini tidak harus diberikan dalam bentuk ‘kuliah’ bagi anak, yang pasti membosankan, tetapi hendaknya dikemas dalam bentuk yang lebih hidup dan menarik, sesuai dengan umur anak. Quiz/ bermain tebak- tebakan, ayah atau ibu membacakan Kitab Suci bergambar, atau sama- sama menonton DVD rohani dan dilanjutkan dengan diskusi singkat dapat menjadi suatu pilihan. Di samping itu, jangan dilupakan bahwa setiap kejadian yang paling sederhana sekalipun dapat dijadikan momen untuk pengajaran tentang iman. Contohnya pada saat anak jatuh ketika belajar bersepeda, dapat dijadikan momen untuk mengajarkan betapa kita sebagai manusia dapat jatuh dalam kesalahan dan dosa, namun Tuhan dapat menolong kita sehingga kita dapat bangkit lagi, sebelum akhirnya kita berhasil. Atau contoh lain, pada saat ada tetangga/ saudara yang membutuhkan pertolongan, itulah saatnya kita sekeluarga pergi menjenguk dan menghibur mereka.
Jika anak telah bertumbuh remaja, kemungkinan pengajaran tentang iman dapat dilakukan dengan lebih mendalam, misalnya, sharing tentang pengalaman dalam hari itu, tentang latihan kebajikan tertentu yang disepakati bersama sehari sebelumnya, misalnya tentang kesabaran. Dengarkan pengalaman anak dan ceritakan juga pengalaman kita sebagai orang tua sepanjang hari itu untuk menjadi orang yang sabar. Baik jika sharing ini ditutup dengan doa.  Jika hal ini terus konsisten dilakukan, baik orang tua maupun anak sama- sama bertumbuh dalam kekudusan.

f. Doa bersama sekeluarga merupakan hal yang harus dilakukan
Orang tua harus mengusahakan agar dapat melakukan doa bersama sekeluarga setiap hari, entah pada pagi hari atau sore hari. Mother Teresa pernah mengatakan, “A family that prays together, stays together” (Keluarga yang berdoa bersama, tetap bersatu bersama). Doa bersama juga dilakukan pada saat sebelum dan sesudah makan. Doa bersama dapat berupa Ibadat Harian, doa spontan, doa rosario, atau doa kaplet Kerahiman Ilahi, dan seterusnya, dan dapat juga dinyanyikan. Doa dapat dilanjutkan dengan renungan Kitab Suci, dan anak- anak dan orang tua dapat melakukan sharing iman sesuai dengan ayat- ayat yang direnungkan.

g. Orang tua mengarahkan anak- anak untuk bergabung ke dalam Gereja
Melalui keluargalah anak- anak secara berangsur- angsur diarahkan ke dalam persekutuan dengan saudara- saudari seiman yang lain di dalam Gereja. Orang tua berkewajiban untuk membawa anak- anak untuk turut mengambil bagian dalam kehidupan Gereja, baik dalam ibadah di paroki atau di lingkungan, ataupun kegiatan rohani dalam komunitas- komunitas Gereja. Persaudaraan sesama umat Katolik di dalam Kristus, harus juga diperkenalkan sejak dini kepada anak- anak. Orang tua juga harus memberikan dorongan kepada anak- anak untuk mengambil bagian dalam sakramen- sakramen Gereja, terutama Ekaristi dan Tobat.

Pendidikan iman Katolik di sekolah
Sekolah melaksanakan peran yang penting di dalam membantu para orang tua mendidik anak- anak mereka. Dalam hal ini, sekolah tidak hanya bertugas untuk membantu pertumbuhan intelektual anak, tetapi juga kemampuan untuk bertindak dengan bijak, memilah hal- hal yang baik dan yang buruk, meneruskan tradisi yang baik dari generasi sebelumnya, dan untuk mempersiapkan anak- anak untuk kehidupan sesuai dengan profesi mereka di masa datang.
Berikut ini adalah masukan tentang “Apakah yang menjadikan suatu sekolah adalah Sekolah Katolik?” yang kami peroleh dari Maria Brownell, salah seorang kontributor situs Katolisitas. Maria berdomisili di Wisconsin, Amerika Serikat, dan ia aktif terlibat dalam penyusunan kurikulum salah satu sekolah Katolik di sana:
“Apakah yang menjadikan suatu sekolah adalah Sekolah Katolik?
1. Sekolah Katolik adalah sekolah yang bertujuan untuk membentuk anak menjadi kudus
Tujuan dari sekolah tersebut adalah tidak hanya mengajar, melainkan juga membentuk anak- anak menjadi pribadi yang utuh. Sekolah tidak hanya harus mengajar mereka secara akademis, tetapi juga untuk harus bekerja keras untuk membawa mereka kepada kekudusan. Manusia terdiri atas tubuh dan jiwa, maka sekolah Katolik yang baik harus tidak hanya mengisi ‘kepala’ murid- muridnya dengan informasi, tetapi harus juga mengisi hati murid- muridnya dengan iman Katolik dan kasih. Sekolah Katolik harus menanamkan dalam hati murid- muridnya, hati yang mengasihi dan melayani: pelayanan kepada sesama, kepada negara dan kepada Tuhan.

2. Semua guru/pendidik di sekolah harus Katolik dan bekerja sama dengan para orang tua murid untuk mendidik anak-anak, terutama dalam hal iman.
1.      Semua guru di sekolah harus Katolik dan mereka harus mengenal/ mengetahui tentang iman Katolik dengan baik, dan melaksanakan ajaran iman mereka. Mereka harus percaya, setuju dan mengasihi semua ajaran Katolik. Guru- guru juga harus mengejar kekudusan dalam kehidupan mereka sehari- hari.
2.      Ideal jika sekolah mempunyai juga imam pembimbing rohani yang turut aktif membina sekolah tersebut. Atau suster (biarawati) yang juga dapat mengajar para murid. Imam, biarawan ataupun biarawati yang mengajar di sekolah -misalnya untuk mata pelajaran Agama atau mata pelajaran lain sesuai dengan keahlian masing- masing- dapat menjadi tokoh panutan bagi murid- murid dan membantu mereka untuk semakin meneladani Kristus.
3.      Para guru juga harus menerapkan ajaran iman Katolik di dalam pengajaran mereka di dalam setiap mata pelajaran. Mereka harus mencari kesempatan- kesempatan untuk meng-integrasikan iman dalam pengajarannya kepada murid- murid.
4.      Setiap murid harus dihargai martabatnya sebagai anak Allah, dan sebaliknya semua murid harus menghormati dan menaati para gurunya.
5.      Sekolah harus bersama-sama dengan orang tua mendidik anak- anak dan membentuk karakter mereka, sebab pada akhirnya, orang tua-lah yang merupakan pendidik pertama dan utama dalam hal iman bagi anak- anak. Orang tua harus juga mendukung para guru, dan tidak cenderung mempunyai sikap curiga kepada guru yang memberikan koreksi ataupun teguran kepada anaknya.
3. Lingkungan di dalam sekolah harus Katolik:
1.      Harus ditekankan dan dipelihara, suatu lingkungan sekolah yang menyatakan kasih dan saling menghormati, di antara para guru, murid dan staf di sekolah. Tidak diperkenankan saling berteriak/ marah- marah/ kasar satu sama lain (di antara guru, antara guru dan murid- murid ataupun di antara para murid). Jika seorang murid berbuat salah, jangan dipermalukan: tidak diperkenankan mengkoreksi murid di hadapan para murid yang lain.
2.      Para murid harus merasa bahwa mereka dikasihi dan dihargai. Guru- guru ada di sana untuk membantu mereka untuk menjadi seseorang seperti yang dikehendaki oleh Tuhan.
3.      Tidak perlu menghargai mereka dengan banyak kado/ bingkisan. Para murid seharusnya di harapkan untuk melakukan yang terbaik menurut kemampuan mereka, dan untuk memberikan apa yang terbaik dari diri mereka kepada Tuhan.
4.      Para Santa/ Santo harus menjadi teladan mereka, dan bukan para bintang film/ selebriti. Maka adalah tugas para guru untuk memperkenalkan teladan para Santa/o kepada para muridnya.
5.      Para guru harus mengajar anak- anak bagaimana untuk berpikir sendiri, dan untuk memberikan dorongan/ inspirasi agar mereka menjadi yang terbaik bagi Tuhan, mencintai Tuhan dan sesama, dan mencintai Gereja. Ketentuan disiplin harus berdasarkan kebajikan. Ketentuan tersebut harus mendorong para murid untuk menjadi semakin berbudi dan kudus.
6.      Persaingan dalam seolah harus tidak hanya di bidang akademis, olah raga dan musik, tetapi juga dalam hal pembangunan karakter. Sebagai contohnya, penghargaan juga harus diberikan terhadap murid- murid yang mempunyai hati yang melayani, pekerja keras/ rajin, dan suka menolong, dst.”
Dengan demikian, memang ada banyak hal yang dapat dilakukan untuk menjadikan sekolah benar- benar sekolah Katolik, yang sungguh-sungguh mengajarkan iman Katolik dan mengintegrasikannya di dalam seluruh kegiatan belajar dan mengajar di sekolah.


Beberapa contoh konkret yang dapat dilakukan:
  1. Doa bersama sebelum sekolah dimulai. Baik jika diterapkan doa Malaikat Tuhan (Angelus) pada jam 12 siang, dilanjutkan dengan renungan singkat Kitab Suci dan tentang kisah riwayat orang kudus (Santa/ santo) pada hari itu sesuai dengan kalender liturgi Gereja.
  2. Diadakan Misa Kudus bersama minimal seminggu sekali (jika dapat diusahakan lebih sering lebih baik), dengan disediakannya kesempatan mengaku dosa dalam Sakramen Pengakuan Dosa sebelum Misa dimulai, dan Ibadah Tobat minimal sebulan sekali.
  3. Diadakan kantin kejujuran (kantin tanpa penjaga, para pembeli harus dengan jujur membayar sesuai dengan jumlah yang dibeli). Tentu anak- anak perlu dilatih untuk dapat memahami cara kerja kantin ini.
  4. Diadakan piket kebersihan digilir per kelas untuk melatih anak- anak saling melayani.
  5. Pelajaran tentang iman Katolik diintegrasikan dengan seni: seni suara/musik, seni lukis, menjahit, keramik, pidato dst.
  6. Demikian juga pada pelajaran ilmu pengetahuan, hindari menggunakan buku- buku yang tidak sesuai dengan ajaran iman Katolik, seperti evolusi Darwin (makroevolusi), atau buku sejarah yang mengatakan bahwa Abad Pertengahan adalah Abad kegelapan; atau buku yang mengatakan bahwa dunia sudah terlalu penuh, sehingga orang harus membatasi jumlah anak. Jika pemakaian buku- buku tersebut tidak dapat dihindari, minimal para guru dapat memberikan penjelasan yang meluruskannya.
  7. Pendidikan seksualitas pada anak-anak sesuai dengan umurnya, dengan menyampaikan nilai- nilai Kristiani sesuai dengan ajaran Gereja Katolik.

Pendidikan iman Katolik di paroki
Mengingat fakta secara umum, bahwa dewasa ini banyak orang Katolik tidak sungguh- sungguh mengenali imannya, maka pendidikan katekese sebaiknya dilakukan di semua lini, maksudnya adalah, kepada anak- anak, kaum muda, maupun orang tua. Katekese anak dapat dilakukan melalui Bina Iman, yang dilakukan sekali seminggu, menurut kelompok usia. Namun mungkin baik dipikirkan jika terdapat buku panduan dari pihak keuskupan setempat, agar memudahkan para guru untuk mempersiapkan pengajaran.
Alangkah baiknya, jika pastor paroki menghimbau dan mendukung Bina Iman, juga dalam hal mencari para pengajar yang kompeten untuk mengajar Bina Iman. Mungkin kaum muda/ OMK dapat dilibatkan dalam hal ini, setelah mereka menjalani semacam pelatihan untuk menjadi guru- guru Bina Iman. Jika keuangan paroki memungkinkan, dapat pula diusahakan adanya staf khusus yang menangani hal katekese umat, dalam hal ini untuk menjadi koordinator guru- guru Bina Iman, yang memberikan pengarahan kepada para guru setiap minggunya (atau dua minggu sekali) sebelum mereka mengajar; ataupun juga mengkoordinasikan para katekis lainnya yang bertugas mengajar katekumen, calon Krisma ataupun calon penerima Komuni pertama. Alangkah baiknya jika dalam pendidikan iman anak- anak ini, pihak orang tua dilibatkan, misalnya dengan secara periodik mengadakan rekoleksi/ retret keluarga ataupun semacam seminar setengah hari yang melibatkan orang tua, ataupun yang disertai dengan acara rekreasi keluarga.
Di samping itu perlu diperhatikan adanya kesinambungan dalam pendidikan iman Katolik dari masa kanak- kanak sampai usia dewasa. Jika tidak ada kelompok khusus antara usia Komuni pertama sampai usia mudika maka perlu diusahakan komunitas ‘antara’ tersebut. Komunitas ini tidak selalu harus baru, tetapi bisa juga mendayagunakan komunitas yang sudah ada, seperti Putra- Putri Altar, Legio Maria Junior, Kelompok koor anak/ remaja, yang diberi pandampingan rohani.
Komunitas OMK atau pasangan muda juga dapat disemangati dengan katekese tentang pendalaman iman Katolik. Selanjutnya, kelompok ini dapat didayagunakan untuk juga menjadi para guru Bina Iman Anak dan Remaja. Jika memungkinkan, dipupuk juga pelatihan OMK untuk menjadi kelompok yang berguna bagi kegiatan membangun kehidupan menggereja, seperti menjadi relawan yang mengunjungi  dan mendoakan umat paroki yang sakit, menjadi guru Bina Iman termasuk mengajar Bina Iman dalam bahasa Inggris, menggiatkan kelompok Bible Study/ Bible Sharing untuk pendalaman iman, kelompok diskusi apologetik, kelompok musik/ orkestra rohani dan seterusnya.
Hal yang juga dapat diterapkan untuk meningkatkan kualitas katekisasi adalah prinsip sponsor/ pendukung dalam proses katekumenat calon baptis. Sesungguhnya prinsip ini bukan hal yang baru, melainkan sudah diterapkan oleh Gereja sejak jaman dulu, dan kini diterapkan kembali di banyak paroki di negara- negara lain. Dalam  proses ini, setiap katekumen didukung oleh seorang sponsor (dari salah seorang umat yang sudah dibaptis), yaitu pendukung yang mendampingi katekumen sepanjang proses katekumenat. Tugas seorang sponsor adalah membantu agar katekumen dapat semakin memahami iman Katolik, membantunya menemukan motivasi yang lebih murni untuk menjadi Katolik dan mendampinginya dalam pergumulan yang mungkin dihadapi dalam proses katekumenat. Maka para sponsor adalah “mereka yang telah mengetahui dan membantu calon baptis dan berdiri sebagai saksi baginya dalam hal karakter moral, iman dan intensi”. Kemungkinan, para lulusan kursus evangelisasi di paroki dapat diarahkan untuk menjadi sponsor bagi para katekumen. Selain sponsor, setiap katekumen juga mempunyai wali baptis yang mendampinginya, membantu pertumbuhan imannya dan selalu mendoakannya setiap hari. “Para wali baptis adalah orang- orang yang dipilih oleh para katekumen atas dasar teladan yang baik, persahabatan …. Adalah tanggung jawab dari para orang tua baptis untuk memperlihatkan kepada para katekumen bagaimana mempraktekkan Injil di dalam kehidupan pribadi dan sosial, untuk menguatkan mereka di saat- saat mereka ragu/ enggan dan kuatir, untuk menjadi saksi dan untuk membimbing kemajuan katekumen dalam kehidupan sebelum dan sesudah baptisan.” Karena peran sponsor dan para orang tua baptis sangatlah penting, maka pentinglah pula dipersiapkan beberapa umat di paroki agar dapat melakukan tugas ini. Diperlukan katekese umat dalam hal ini, agar mereka dapat terpanggil untuk menjadi sponsor [dan wali baptis] dan melakukan tugas mereka dengan suka cita. Sponsor dan para katekis harus bersama- sama saling bahu- membahu untuk mempersiapkan calon baptis menerima Kristus dalam sakramen- sakramen Inisiasi. Perlu dipikirkan juga bagaimana menerapkan penggabungan para katekumen ke dalam kehidupan seluruh umat beriman dalam liturgi, seperti yang ditetapkan dalam the RCIA (Rites of Christian Initiation of Adults) yang disusun berdasarkan the Order of Christian Initiation of Adults yang dipromulgasikan oleh Paus Paulus VI pada tahun 1972.  Hal ini terlihat dalam beberapa ritual dalam liturgi yang mencerminkan beberapa tahapan dalam masa katekumenat, sejak masa penerimaan sampai dibaptis, seperti: Rite of Acceptance, Rite of Welcoming, Rite of Election, Rite of the Call to Continuing Conversion, Scrutinies, Sacraments of Initiation. Dan akhirnya, perlu dipikirkan bagaimana seluruh umat di paroki menyambut mereka, sehingga mereka dapat masuk ke dalam kehidupan menggereja. Untuk membantu umat yang baru dibaptis, maka mistagogi juga harus disusun secara serius.
Para katekis awam juga perlu terus memperdalam pengetahuan dan penghayatan mereka akan iman Katolik, sehingga mereka dapat mengajar sesuai dengan pengajaran Magisterium Gereja; setelah menerapkan ajaran tersebut dalam kehidupannya pribadinya sendiri. Alangkah baiknya jika seksi Katekese KWI secara berkala mengadakan sesi pengajaran khusus tentang beberapa topik khas Katolik secara mendalam (misalnya Maria, tentang Gereja, Sakramen, dst) yang dapat diikuti oleh semua katekis. Harapannya agar para katekis menjadi semakin memahami ajaran iman Katolik, yang selalu mengambil dasar dari Kitab Suci dan Tradisi Suci. Lebih lanjut, seksi Katekese KWI juga dapat memberikan kursus kepada para katekis, yang nantinya menjadi dasar untuk pemberian sertifikat mengajar kepada para katekis.
Selanjutnya, katekese lanjutan bagi kelompok umat yang baru dibaptis juga sangat penting. Mereka yang baru dibaptis sebenarnya adalah ‘anak- anak’ dalam hal rohani, yang memerlukan pembinaan iman lebih lanjut agar iman mereka dapat terus bertumbuh. Pembinaan lanjutan ini idealnya tidak hanya dilakukan satu atau dua kali, tetapi seterusnya, sampai mereka dapat menjadi sponsor bagi para calon baptis dalam angkatan berikutnya. Dengan demikian, harapannya proses katekese  dapat  berjalan berkesinambungan dan ada proses regenerasi dalam proses tersebut.

Kesimpulan
Bahwa ada banyak umat Katolik yang tidak sungguh-sungguh mengenali imannya, menjadi tantangan bagi kita untuk memperbaiki proses katekese di dalam Gereja Katolik. Proses katekese atau pendidikan iman ini harus dimulai sejak dini, baik di keluarga, sekolah maupun di paroki. Di dalam semua proses tersebut, harus tetap dipahami dan diterapkan bahwa orang tua merupakan pendidik pertama dan utama bagi anak-anak mereka dalam hal iman dan pembentukan karakter. Dalam melakukan tugas ini, orang tua memperoleh bantuan dari sekolah dan paroki dan ketiga pihak ini harus bersama-sama berusaha untuk membentuk anak untuk mengasihi Tuhan dan sesama, dan menjadi pribadi yang bertanggungjawab di dalam hidup ini, agar kelak dapat masuk dalam Kerajaan Surga. Dewasa ini  ada begitu banyak tantangan yang harus dihadapi untuk melaksanakan pendidikan iman, karena ada banyak tawaran dunia yang dapat lebih menarik perhatian anak-anak dan generasi muda. Maka orang tua, pihak sekolah dan paroki harus bersatu padu untuk bersama- sama berusaha untuk malaksanakan tugas pendidikan iman ini, dengan memperhatikan isi dan cara penyampaiannya. Jika usaha terpadu ini dapat dilakukan secara berkesinambungan,  dari usia dini sampai dewasa, maka besar harapan kita bahwa semakin banyak umat Katolik dapat mengenal dan mengasihi imannya, dan dapat pula menjadi saksi- saksi iman yang hidup untuk membangun Gereja dan masyarakat. Janganlah kita lupa akan prinsip dasar dalam hal pendidikan iman ini : “Jangan biarkan dunia ini yang mendidik dan membesarkan anak- anak kita, sebab sebagai orang tua, guru dan Gereja, kitalah yang harus mendidik anak- anak agar mereka dapat masuk surga.” Mari kita bersama sebagai anggota Tubuh Kristus secara bahu membahu bekerja bersama Kristus sang Kepala kita untuk mewujudkan kehendak-Nya yang “mengendaki supaya semua orang diselamatkan dan memperoleh pengetahuan akan kebenaran” (1 Tim 2:4). Semoga pendidikan iman dalam keluarga, sekolah dan paroki mengarah kepada pengetahuan akan kebenaran ini, yang menghantar kita sampai kepada kehidupan kekal.