Melihat perlunya gereja sebagai tempat beribadah bagi umat Katolik
Kudus, maka Mgr. Lijnen dari paroki Gedangan Semarang mulai merintis
pendirian gereja. Tanggal 17 Juni 1911 gedung gereja pertama yang
terletak di Jalan Kawedanan (sekarang J1. Diponegoro 19 Kudus)
diresmikan oleh pastor P. Neijboer. Pendirian gereja tersebut digunakan
sebagai kapel bagi umat Katolik di Kudus. Sampai dengan 1931, umat
Kato1ik Kudus masih menjadi bagian umat dari Paroki Gedangan Semarang,
dan semenjak 1932 Kudus menjadi stasi dari Paroki Pati. Kudus menjadi
stasi dari Paroki Pati dengan pertimbangan, bahwa kota Kudus merupakan
bagian dari wilayah karisidenan Pati, selain Rembang, Jepara dan Juana,
pertimbangan lain yaitu letak geografisnya lebih dekat dengan Pati, dan
juga kota Kudus termasuk daerah propinsi dari misi pastor MSF. Selama
tujuh tahun menjadi stasi paroki Pati, perkembangan umat Katolik Kudus
mengalami peningkatan. Peningkatan jumlah umat ini mendapat perhatian
dari Keuskupan Agung Semarang dan menjadi pertimbangan untuk menjadikan
stasi Kudus menjadi sebuah paroki. Selain pertimbangan tersebut, umat
stasi Kudus dipandang sudah cukup mampu untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan yang berhubungan dengan keuangan dan administrasi
sebuah paroki. Tahun 1939 Pastor Y. Van Beek, MSF mempersiapkan
pendirian paroki Kudus. Gedung yang semula digunakan sebagai kapel
kemudian difungsikan menjadi gereja. Gedung gereja di Jalan Kawedanan
diresmikan menjadi paroki Kudus pada tanggal 1 Januari 1939, dan pastor
pertama yang ditugaskan di Paroki Kudus adalah Pastor J. Vander Steegt,
MSF. Semasa jaman Jepang di Indonesia gereja mengalami goncangan yakni
hampir semua gereja kehilangan pimpinan. Demikian pula yang terjadi di
paroki Kudus, semua pastor ditawan oleh tentara Jepang di dalam kamp
tahanan. Pada saat itu pastor paroki Kudus yang ditawan adalah pastor J.
Komen, MSF dan pastor A. de Koneng, MSF. Selama para misionaris Belanda
dalam kamp tahanan kegiatan dan karya misi gereja berhenti, begitu juga
dengan kegiatan sekolah yang ditangani pastor-pastor Belanda. Pada saat
itu pula karya misi gereja mulai ditangani oleh pastor-pastor pribumi.
Pastor-pastor pribumi pertama yang baru datang dari negeri Belanda yakni
Pastor IM. Haryadi (1944-1945) dan Pastor D. Adisoedjana MSF
(l946-1948). Karena tidak mempunyai pastoran lagi, maka apabila
berkunjung ke Kudus, para pastor tersebut tinggal di rumah Keluarga Lie
Swie Liat (Jl. A. Yani 100 Kudus). Pada tahun 1952 paroki Kudus
mengalami peningkatan jumlah umat, akibatnya gereja pertama di Jalan
Kawedanan yang mempunyai daya tampung 300 umat itu, sudah tidak mampu
menampung umat lagi. Melihat itu pastor A. de Koneng, yang kembali lagi
ke Kudus tahun 1952, mulai merintis pendirian gereja baru. Sebagai
langkah awal adalah mencari tanah untuk bangunan gereja. Tidak lama
kemudian pada tahun 1953, pastor A. de Koneng menemukan tanah di Jalan
Ngantenan (sekarang Jalan Sunan Muria no 6 Kudus). Dahulu pemilik tanah
ini adalah seorang Belanda bernama Bushoar, kemudian tanah itu dibeli
oleh seorang arab dari Semarang untuk digunakan sebagai asrama. Dari
sinilah pastor A. de Koneng bersama dengan Mgr. Albertus Soegijapranata
mengadakan pembicaraan dengan orang arab tersebut, dan akhirnya tanah di
Jalan Ngantenan dibeli. Dana untuk pembelian tanah berasal dari salah
satu umat, yakni keluarga The Tjieng Swan, seorang direktur perusahaan
rokok Prawoto. Pembangunan gereja kedua di Jalan Ngantenan dibangun oleh
pastor A. de Koneng pada tahun 1954. Dengan bantuan dana dari umat,
pembangunan gereja secara keseluruhan selesai pada tahun 1955, dan
diberkati oleh Mgr. Albertus Soegijapranata pada tanggal 24 April 1955.
Sebelumnya, yakni tahun 1954, dise1esaikan pembangunan gedung Kanisius
(sekarang SDK) di halaman belakang gereja. Pada tahun itu juga sekolah
yayasan Kanisius Kudus menjadi sekolah yayasan Keluarga. Gereja di Jalan
Kawedanan pun sudah tidak digunakan lagi dan pada tanggal 4 Agustus
1960 dibeli oleh gereja Kristen Jawa (GKJ) atas ijin dari Mgr. Albertus
Soegijapranata. Suatu kenyataan bahwa saat itu paroki belum terbentuk
Dewan Paroki, belurn terdapat pembagian wilayah/stasi, katekes sangat
terbatas, belum ada organisasi kemasyarakatan Katolik, padahal wilayah
paroki gereja St. Yohanes Evangelista meliputi 3 wilayah kabupaten :
Kudus, Jepara dan Purwodadi. Akhirnya, dari beberapa pertemuan muncul
tokoh-tokoh awam embrio terbentuknya Dewan Paroki dan organisasi
kemasya-rakatan Katolik yang kelak menjadi motor penggerak pengembangan
gereja. Untuk menambah katekese dan guru agama diadakan kursus katakese
selama 1 tahun atas ijin Keuskupan Agung dan digembleng oleh Rm C.
Yacobs, MSF dan Rm F.X. Pradjasuta, MSF. Dipilihlah guru-guru muda dan
kepala sekolah SDK, SMPK, SMAK untuk mengikuti kursus ini. Dan mereka
diwajibkan mengajar agama di kelas, stasi dan wilayah. Dalam bidang
organisasi kemasyaratan dibentuklah Partai Katolik, Persatuan Guru
Katolik dan Pemuda Katolik, Ikatan Buruh Pancasila, Wanita Katolik dan
Gugus Depan khusus Katolik. Semasa di Kudus Rm. Pradjasuta, MSF juga
dikenal selalu gigih dalam memperjuangkan hak-hak umat Katolik dengan
warga negara yang beragama lain, antara lain hak penguburan jenazah.
Tahun 1965 peristiwa G 30 S PKI meletus. Ada hikmah baik dan buruk bagi
pengembangan gereja dan umat Katolik dari peristiwa ini. Ketegangan dan
ketidakpastian terjadi, beredar selebaran gelap tentang tokoh-tokoh yang
akan dihabisi. Saat itu setiap orang diwajibkan memeluk salah satu
agama, banyak orang yang kemudian tertarik menjadi Katolik, muncullah
banyak katekumen baru di desa¬-desa. lnilah yang kemudian melahirkan
stasi-stasi Tanjungrejo (1966), Rejosari (1968), Ngrangit (1968), Bulung
(1968) dan Cranggang. Dalam pengembangan stasi¬-stasi tersebut tidak
dapat dilupakan jasa katekis Bapak T. Purwosumarto yang gigih mewartakan
injil ke pelosok-pelosok kabupaten Kudus, beliau meninggal dalam
kecelakaan sepulang mewartakan Injil di Ngrangit pada September 1972.
Tahun 1971 Rm. A. de Koning, MSF kembali bertugas di Kudus, beliau
meninggal dunia dalam perjalanan ke Jepara untuk melayani umat di kota
tersebut, maka Rm Cel.v.d. Vlugt, MSF yang sedang cuti di Be1anda
langsung kembali menggantikannya walau semula beliau adalah pastor
kepala di Salatiga. Pada tahun 1980 beliau digantikan Rm Harry
Vermuelen, MSF yang kemudian diangkat menjadi pastor kepala di paroki
Rawamangun Jakarta pada Maret 1981. Kegiatan para awam makin
bersemangat, teratur dan terarah. Dewan Paroki mulai tertata dengan
pembagian seksi. Tahun 1976 perkembangan paroki secara teritorial baru
dimulai ketika terbentuk sepuluh wilayah dalam paroki. Dalam kegiatan
liturgi mulai diangkat para Prodiakon pertama sejumlah dua belas orang
pada tahun 1982. Dan pada kesempatan yang sama mulai diadakan penyegaran
susunan Dewan Paroki dengan pembatasan jangka waktu tugas yaitu tiga
tahun. Kegiatan seperti Koor dan Legio Maria berkembang dengan pesat
pada masa bakti Rm F.X. The Tjoen An, MSF. Walaupun sangat pendek,
Oktober 1988 - ¬Februari 1990, beliau berhasil memotivasi banyak
kalangan untuk terlibat lebih aktif dalam kegiatan Gerejani. Ia pun
membimbing umat untuk meneruskan pemugaran gereja yang sudah dimulai Rm.
Jeremias Bala Pito Duan serta memindahkan SD Keluarga dari Jalan Sunan
Muria 6 ke Jalan Pramuka untuk membangun aula Paroki yang lebih
representatif serta pembangunan gereja Mayong. Beliau meninggal 13
Februari 1990 di RS Atmajaya Jakarta tanpa sempat menyelesaikan beberapa
proyek pembangunan yang beliau motori. Maka Rm F.X. Dwinugraha
Sulistya, MSF yang sejak 1 September 1989 mendampinginya, ditunjuk
sebagai pejabat sementara pastor kepala Paroki Kudus dan merealisasikan
pembangunan aula yang kemudian diberkati pada tanggal 3 Desember 1990.
Pembangunan fisik gereja Kudus terus mengalami perubahan, semasa Rm.
R.B. Pranatasurya, MSF juga dibangun pastoran baru dan perluasan sayap
gereja untuk menampung lebih banyak umat.
Perkembangan jumlah umat
Gereja St. Yohanes Evanglista semakin besar, sehingga umat di Jepara
berinisiatif untuk memisahkan dan berdiri sebagai paroki tersendiri.
Proses berdirinya paroki Stela Maris Jepara terjadi masa Romo Wignyo
Sumarto, MSF menjadi pastor kepala. Perkembangan yang selanjutnya yang
sangat nampak dengan digagasnya Balai Budaya Rejosari bersama beberapa
paroki di rayon SIDIANA. Gagasan Balai Budaya Rejosari adalah menampung
dan melestarikan budaya didaerah pantura.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar