Kamis, 03 April 2014

SEJARAH

Melihat perlunya gereja sebagai tempat beribadah bagi umat Katolik Kudus, maka Mgr. Lijnen dari paroki Gedangan Semarang mulai merintis pendirian gereja. Tanggal 17 Juni 1911 gedung gereja pertama yang terletak di Jalan Kawedanan (sekarang J1. Diponegoro 19 Kudus) diresmikan oleh pastor P. Neijboer. Pendirian gereja tersebut digunakan sebagai kapel bagi umat Katolik di Kudus. Sampai dengan 1931, umat Kato1ik Kudus masih menjadi bagian umat dari Paroki Gedangan Semarang, dan semenjak 1932 Kudus menjadi stasi dari Paroki Pati. Kudus menjadi stasi dari Paroki Pati dengan pertimbangan, bahwa kota Kudus merupakan bagian dari wilayah karisidenan Pati, selain Rembang, Jepara dan Juana, pertimbangan lain yaitu letak geografisnya lebih dekat dengan Pati, dan juga kota Kudus termasuk daerah propinsi dari misi pastor MSF. Selama tujuh tahun menjadi stasi paroki Pati, perkembangan umat Katolik Kudus mengalami peningkatan. Peningkatan jumlah umat ini mendapat perhatian dari Keuskupan Agung Semarang dan menjadi pertimbangan untuk menjadikan stasi Kudus menjadi sebuah paroki. Selain pertimbangan tersebut, umat stasi Kudus dipandang sudah cukup mampu untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang berhubungan dengan keuangan dan administrasi sebuah paroki. Tahun 1939 Pastor Y. Van Beek, MSF mempersiapkan pendirian paroki Kudus. Gedung yang semula digunakan sebagai kapel kemudian difungsikan menjadi gereja. Gedung gereja di Jalan Kawedanan diresmikan menjadi paroki Kudus pada tanggal 1 Januari 1939, dan pastor pertama yang ditugaskan di Paroki Kudus adalah Pastor J. Vander Steegt, MSF. Semasa jaman Jepang di Indonesia gereja mengalami goncangan yakni hampir semua gereja kehilangan pimpinan. Demikian pula yang terjadi di paroki Kudus, semua pastor ditawan oleh tentara Jepang di dalam kamp tahanan. Pada saat itu pastor paroki Kudus yang ditawan adalah pastor J. Komen, MSF dan pastor A. de Koneng, MSF. Selama para misionaris Belanda dalam kamp tahanan kegiatan dan karya misi gereja berhenti, begitu juga dengan kegiatan sekolah yang ditangani pastor-pastor Belanda. Pada saat itu pula karya misi gereja mulai ditangani oleh pastor-pastor pribumi. Pastor-pastor pribumi pertama yang baru datang dari negeri Belanda yakni Pastor IM. Haryadi (1944-1945) dan Pastor D. Adisoedjana MSF (l946-1948). Karena tidak mempunyai pastoran lagi, maka apabila berkunjung ke Kudus, para pastor tersebut tinggal di rumah Keluarga Lie Swie Liat (Jl. A. Yani 100 Kudus). Pada tahun 1952 paroki Kudus mengalami peningkatan jumlah umat, akibatnya gereja pertama di Jalan Kawedanan yang mempunyai daya tampung 300 umat itu, sudah tidak mampu menampung umat lagi. Melihat itu pastor A. de Koneng, yang kembali lagi ke Kudus tahun 1952, mulai merintis pendirian gereja baru. Sebagai langkah awal adalah mencari tanah untuk bangunan gereja. Tidak lama kemudian pada tahun 1953, pastor A. de Koneng menemukan tanah di Jalan Ngantenan (sekarang Jalan Sunan Muria no 6 Kudus). Dahulu pemilik tanah ini adalah seorang Belanda bernama Bushoar, kemudian tanah itu dibeli oleh seorang arab dari Semarang untuk digunakan sebagai asrama. Dari sinilah pastor A. de Koneng bersama dengan Mgr. Albertus Soegijapranata mengadakan pembicaraan dengan orang arab tersebut, dan akhirnya tanah di Jalan Ngantenan dibeli. Dana untuk pembelian tanah berasal dari salah satu umat, yakni keluarga The Tjieng Swan, seorang direktur perusahaan rokok Prawoto. Pembangunan gereja kedua di Jalan Ngantenan dibangun oleh pastor A. de Koneng pada tahun 1954. Dengan bantuan dana dari umat, pembangunan gereja secara keseluruhan selesai pada tahun 1955, dan diberkati oleh Mgr. Albertus Soegijapranata pada tanggal 24 April 1955. Sebelumnya, yakni tahun 1954, dise1esaikan pembangunan gedung Kanisius (sekarang SDK) di halaman belakang gereja. Pada tahun itu juga sekolah yayasan Kanisius Kudus menjadi sekolah yayasan Keluarga. Gereja di Jalan Kawedanan pun sudah tidak digunakan lagi dan pada tanggal 4 Agustus 1960 dibeli oleh gereja Kristen Jawa (GKJ) atas ijin dari Mgr. Albertus Soegijapranata. Suatu kenyataan bahwa saat itu paroki belum terbentuk Dewan Paroki, belurn terdapat pembagian wilayah/stasi, katekes sangat terbatas, belum ada organisasi kemasyarakatan Katolik, padahal wilayah paroki gereja St. Yohanes Evangelista meliputi 3 wilayah kabupaten : Kudus, Jepara dan Purwodadi. Akhirnya, dari beberapa pertemuan muncul tokoh-tokoh awam embrio terbentuknya Dewan Paroki dan organisasi kemasya-rakatan Katolik yang kelak menjadi motor penggerak pengembangan gereja. Untuk menambah katekese dan guru agama diadakan kursus katakese selama 1 tahun atas ijin Keuskupan Agung dan digembleng oleh Rm C. Yacobs, MSF dan Rm F.X. Pradjasuta, MSF. Dipilihlah guru-guru muda dan kepala sekolah SDK, SMPK, SMAK untuk mengikuti kursus ini. Dan mereka diwajibkan mengajar agama di kelas, stasi dan wilayah. Dalam bidang organisasi kemasyaratan dibentuklah Partai Katolik, Persatuan Guru Katolik dan Pemuda Katolik, Ikatan Buruh Pancasila, Wanita Katolik dan Gugus Depan khusus Katolik. Semasa di Kudus Rm. Pradjasuta, MSF juga dikenal selalu gigih dalam memperjuangkan hak-hak umat Katolik dengan warga negara yang beragama lain, antara lain hak penguburan jenazah. Tahun 1965 peristiwa G 30 S PKI meletus. Ada hikmah baik dan buruk bagi pengembangan gereja dan umat Katolik dari peristiwa ini. Ketegangan dan ketidakpastian terjadi, beredar selebaran gelap tentang tokoh-tokoh yang akan dihabisi. Saat itu setiap orang diwajibkan memeluk salah satu agama, banyak orang yang kemudian tertarik menjadi Katolik, muncullah banyak katekumen baru di desa¬-desa. lnilah yang kemudian melahirkan stasi-stasi Tanjungrejo (1966), Rejosari (1968), Ngrangit (1968), Bulung (1968) dan Cranggang. Dalam pengembangan stasi¬-stasi tersebut tidak dapat dilupakan jasa katekis Bapak T. Purwosumarto yang gigih mewartakan injil ke pelosok-pelosok kabupaten Kudus, beliau meninggal dalam kecelakaan sepulang mewartakan Injil di Ngrangit pada September 1972. Tahun 1971 Rm. A. de Koning, MSF kembali bertugas di Kudus, beliau meninggal dunia dalam perjalanan ke Jepara untuk melayani umat di kota tersebut, maka Rm Cel.v.d. Vlugt, MSF yang sedang cuti di Be1anda langsung kembali menggantikannya walau semula beliau adalah pastor kepala di Salatiga. Pada tahun 1980 beliau digantikan Rm Harry Vermuelen, MSF yang kemudian diangkat menjadi pastor kepala di paroki Rawamangun Jakarta pada Maret 1981. Kegiatan para awam makin bersemangat, teratur dan terarah. Dewan Paroki mulai tertata dengan pembagian seksi. Tahun 1976 perkembangan paroki secara teritorial baru dimulai ketika terbentuk sepuluh wilayah dalam paroki. Dalam kegiatan liturgi mulai diangkat para Prodiakon pertama sejumlah dua belas orang pada tahun 1982. Dan pada kesempatan yang sama mulai diadakan penyegaran susunan Dewan Paroki dengan pembatasan jangka waktu tugas yaitu tiga tahun. Kegiatan seperti Koor dan Legio Maria berkembang dengan pesat pada masa bakti Rm F.X. The Tjoen An, MSF. Walaupun sangat pendek, Oktober 1988 - ¬Februari 1990, beliau berhasil memotivasi banyak kalangan untuk terlibat lebih aktif dalam kegiatan Gerejani. Ia pun membimbing umat untuk meneruskan pemugaran gereja yang sudah dimulai Rm. Jeremias Bala Pito Duan serta memindahkan SD Keluarga dari Jalan Sunan Muria 6 ke Jalan Pramuka untuk membangun aula Paroki yang lebih representatif serta pembangunan gereja Mayong. Beliau meninggal 13 Februari 1990 di RS Atmajaya Jakarta tanpa sempat menyelesaikan beberapa proyek pembangunan yang beliau motori. Maka Rm F.X. Dwinugraha Sulistya, MSF yang sejak 1 September 1989 mendampinginya, ditunjuk sebagai pejabat sementara pastor kepala Paroki Kudus dan merealisasikan pembangunan aula yang kemudian diberkati pada tanggal 3 Desember 1990. Pembangunan fisik gereja Kudus terus mengalami perubahan, semasa Rm. R.B. Pranatasurya, MSF juga dibangun pastoran baru dan perluasan sayap gereja untuk menampung lebih banyak umat.
Perkembangan jumlah umat Gereja St. Yohanes Evanglista semakin besar, sehingga umat di Jepara berinisiatif untuk memisahkan dan berdiri sebagai paroki tersendiri. Proses berdirinya paroki Stela Maris Jepara terjadi masa Romo Wignyo Sumarto, MSF menjadi pastor kepala. Perkembangan yang selanjutnya yang sangat nampak dengan digagasnya Balai Budaya Rejosari bersama beberapa paroki di rayon SIDIANA. Gagasan Balai Budaya Rejosari adalah menampung dan melestarikan budaya didaerah pantura.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar