Rabu, 20 Agustus 2014

Serba-Serbi Perkawinan Katolik



Serba-Serbi Perkawinan Katolik

A.    Arti, Hakikat, Tujuan, dan Sifat-Sifat Perkawinan

Arti dan hakikat perkawinan secara umum
Tujuan hidup manusia adalah mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan. Untuk mencapainya, manusia menempuh beberapa cara: pertama, dengan hidup selibat-mem­biara (sebagai biarawan-biarawati); kedua, memenuhi panggilan hidup sebagai awam yang menikah atau awam yang hidup selibat secara sukarela. Sebagai pilihan hidup, perkawinan dilindungi oleh hukum.
Dalam arti umum, perkawinan pada hakikatnya adalah persekutuan hidup antara pria dan wanita, atau dasar saling mencintai untuk membentuk hidup bersama secara tetap dan memiliki tujuan yang sama, yaitu saling membahagiakan. Tujuan mereka membentuk persekutuan hidup ini adalah untuk mencapai kebahagiaan dan melanjut­kan keturunan. Oleh karena itu, dalam agama atau kultur tertentu, apabila perkawinan tidak dapat mendatangkan keturunan, seorang suami dapat mengambil wanita lain dan menjadikan dia sebagai istri agar dapat memberi keturunan.

Tujuan dan sifat dasar perkawinan
Saling membahagiakan dan mencapai kesejahteraan suami-istri (segi unitik). Kedua pihak memiliki tanggung jawab dan memberi kontribusi untuk mewu­judkan kesejahteraan dan kebahagiaan suami-istri.
Terarah pada keturunan (segi prokreatik). Kesatuan sebagai pasutri dianuge­rahi rahmat kesuburan untuk memperoleh buah cinta berupa keturunan manusia-manusia baru yang akan menjadi mahkota perkawinan. Anak yang dipercayakan Tuhan harus dicintai, dirawat, dipelihara, dilindungi, dididik se­cara Katolik. Ini semua merupakan tugas dan kewajiban pasutri yang secara kodrati keluar dari hakikat perkawinan.
Menghindari perzinaan dan penyimpangan seksual. Perkawinan dimaksud­kan juga sebagai sarana mengekspresikan cinta kasih dan hasrat seksual ko­drati manusia. Dengan perkawinan, dapat dicegah kedosaan karena perzi­naan atau penyimpangan hidup seksual. Dengan perkawinan, setiap manusia diarahkan pada pasangan sah yang dipilih dan dicintai dengan bebas sebagai teman hidup. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Paulus, "Tetapi, kalau mereka tidak dapat menguasai diri, baiklah mereka kawin. Sebab lebih baik kawin daripada hangus karena nafsu" (lKor 7:9).
Catatan penting: dalam perkawinan Katolik, kemandulan, baik salah satu maupun kedua pasangan, tidak membatalkan perkawinan, dan tidak menjadi alasan untuk meninggalkan pasangan kemudian mencari wanita lain sebagai penggantinya. Anak adalah buah kasih dan rahmat Allah melulu.

Kekhasan Perkawinan Katolik
Dalam kanon 1055 KHK 1983, dapat dilihat pengertian dasar mengenai per­kawinan Katolik. "Dengan perjanjian, pria dan wanita membentuk kebersamaan seluruh hidup; dari sifat kodratinya, perjanjian itu terarah pada kesejahteraan suami­ istri serta kelahiran anak; oleh Kristus Tuhan, perjanjian perkawinan antara orang-orang yang dibaptis diangkat ke martabat sakramen.
Cinta Kristus menjadi dasar perkawinan Katolik (bdk. Yoh 15:9-17; Ef 5:22-33). Yang menjadi dasar dalam membangun hidup berkeluarga adalah cin­ta Yesus Kristus kepada Gereja- Nya. Suami dan istri dipanggil untuk saling mencintai secara timbal balik, total dan menyeluruh, saling memberi dan menerima yang diungkapkan dalam persetubuhan. Persetubuhan dilakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kondisi dan situasi pasangannya, pe­nuh pengertian, dilakukan secara sukarela, tanpa ada paksaan. Persetubuhan bukan hanya menunjukkan kesatuan fisik biologis, tetapi juga kesatuan hati, ke­hendak, perasaan, dan visi, yakni mengusahakan kebahagaiaan dan kesejahter­aan bersama. Dengan persetubuhan, sebuah perkawinan disempurnakan.

Sifat-sifat perkawinan Katolik
Unitas, artinya kesatuan antara seorang pria dan seorang wanita menurut relasi cinta yang eksklusif. Dengan kata lain, tidak ada hubungan khusus di luar pasutri. Sifat unitas mengecualikan relasi di luar perkawinan, po­ligami, PIL, WIL.
lndissolubilitas, tak terceraikan, artinya ikatan perkawinan hanya diputus­kan oleh kematian salah satu pasangan atau keduanya. "Apa yang sudah disatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia" (bdk. Mat 19:6; Mrk 10:9). Untuk itu, dituntut adanya kesetiaan dalam untung dan malang, dalam suka dan duka. Dalam hal inilah saling pengertian, pengampunan sangat dituntut.
Sakramental, artinya sakramentalitas perkawinan dimulai sejak terjadi­nya konsensus/perjanjian antara dua orang dibaptis yang melangsungkan perkawinan. Perkawinan disebut sakramental, artinya menjadi tanda ke­hadiran Allah yang menyelamatkan. Untuk itu, dari pasangan suami-istri dituntut adanya cinta yang utuh, total, radikal, tak terbagi sebagaimana cinta Yesus kepada Gereja-Nya (bdk. Ef 5:22-33).

Sakramentalitas Perkawinan
Sakramentalitas perkawinan hanya terjadi pada perkawinan orang-orang yang dibaptis (keduanya dibaptis). Kanon 1055 menyebutkan bahwa Kristus telah mengang­kat perkawinan menjadi sakramen (§1) sehingga sifat perkawinan antara orang-orang yang telah dibaptis adalah sakramen (§2). Kanon ini menandaskan adanya identitas antara perjanjian perkawinan orang-orang dibaptis dengan sakramen. Identifikasi ini membawa konsekuensi:
Semua perkawinan sah yang diselenggarakan antara orang-orang yang dibap­tis, dengan sendirinya merupakan sakramen (§2). Dalam hal ini, tidak dituntut maksud khusus dari mempelai untuk menerimanya sebagai sakramen. Arti­nya, perkawinan dua orang dibaptis non-Katolik, misalnya, Protestan, diang­gap sebagai sakramen meskipun mereka tidak menganggapnya demikian.
Sakramentalitas perkawinan tidak terletak pada pemberkatan pastor karena yang menjadi pelayan sakramen perkawinan adalah kedua mempelai sendiri yang berjanji.
Orang-orang yang dibaptis tidak bisa menikah dengan sah jika dengan mak­sud positif dan jelas mengecualikan sakramentalitas perkawinan.
Perkawinan antara orang yang dibaptis, dengan sendirinya akan diangkat ke dalam martabat sakramen jika keduanya dipermandikan. Mereka tidak ditun­tut untuk mengadakan perjanjian nikah baru, namun dapat meminta berkat pastor.
Perkawinan sakramental ini disempurnakan melalui persetubuhan yang dilakukan secara manusiawi. Dengan demikian, perkawinan disebut ratum, sacramentum et con­summatum. Perkawinan demikian bersifat tidak dapat diceraikan secara absolut (indis­solubilitas absolut).

Spiritualitas Perkawinan
Dalam membangun hidup berkeluarga, pasutri harus bersungguh-sungguh mem­beri kesaksian hidup, menjadi sakramen, tanda keselamatan dan menghadirkan Kera­jaan Allah. Dalam keluarga, diciptakan damai, sukacita, pengampunan, cinta kasih, kere­laan berkurban. "Sakramen Perkawinan menyalurkan kepada pasangan pasangan Kris­ten kemampuan serta kesanggupan untuk menghayati panggilan mereka sebagai awam dan karena itu, untuk mencari Kerajaan Allah dengan mengurusi hal-hal yang fana dan mengaturnya seturut kehendak Allah (FC 47). Berkat sakramen perkawinan, suami dan istri menunaikan kewajiban-kewajiban mereka sebagai suami-istri dalam keluarga, mereka diresapi oleh Roh Kristus yang memenuhi mereka dengan iman, harapan, dan cinta kasih. Demikianlah mereka semakin maju menuju kesempurnaan mereka sendiri dan saling menguduskan dan karena itu, bersama-sama berperan serta demi kemuliaan Allah Bapa (lih. FC 56// GS 48).

B.     BEDA SAKRAMEN DAN PEMBERKATAN PERNIKAHAN
Sakramen perkawinan adalah janji perkawinan yang saling diberikan dan dijalankan oleh dua orang yang dibaptis dalam nama Bapa, Putra dan Roh Kudus. Mereka berjanji setia satu sama lain sampai mati memisahkan mereka, dan mereka berjanji saling menghormati dan mencintai, dengan modelnya atau contohnya adalah Tuhan Jesus Kristus yang mencintai secara total umat manusia (modelnya bukan artis atau manusia yang mencintai Tuhan, tapi Tuhan yang mencintai umat manusia seluruhnya). Sedangkan pemberkatan perkawinan adalah janji perkawinan yang saling diberikan dan dijanakan oleh seorang dibaptis dan tidak dibaptis di hadapan dua saksi awam dan seorang imam. Inti isi janjinya sama: setia sampai mati memisahkan, saling mencintai dan menghormati, hanya modelnya yang berbeda karena yang katolik akan memakai model Jesus yang mencintai, sedang yang Islam memakai muhamad atau orang tuanya sebagai model, atau yang budhis memakai Budha atau orang tuanya sebagai model. Pernikahan beda agama demikian oleh karenanya tidak menjadi sakramen karena pihak yang tidak katolik tidak atau belum mengimani diri sendiri sebagai tanda dan sarana keselamatan Allah bagi pasangannya, bahkan dia tidak/belum percaya pada sakramen itu. Kalau pihak non katolik kemudian hari menjadi katolik dan percaya bahwa dirinya adalah sakramen, maka perkawinan mereka otomatis menjadi sakramen, tidak perlu ada pembaruan pernikahan beda agama yang telah mereka lakukan di gereja.
Yang paling sedikit berbeda antara upacara sakramen dengan pemberkatan paling adalah pertanyaan penyelidikan atas kesediaan pasangan, rumusan janji, doa dari imam, juga pihak non katolik tidak diwajibkan untuk berdoa secara katolik tentu saja.
Tatacara pemberkatan pernikahan akan dijelaskan dalam Kursus Persiapan Perkawinan. Intinya adalah pasangan masing-masing menjawab beberapa pertanyaan mengenai keikhlasan hati untuk melangsungkan perkawinan, mereka mengucapkan janji perkawinan dengan intinya adalah kesetiaan, saling mengasihi dan menghormati sampai kematian memisahkan, pengesahan perkawinan oleh imam, doa pemberkatan oleh imam bagi pasangan itu, pengenaan cincin tanda cinta dan kesetiaan, penandatanganan dokument perkawinan.
Tidak ada tatacara yang membuat orang non-katolik menjadi orang katolik secara tidak langsung, karena orang non-katolik bersama yang katolik akan menyusun teks upacara perkawinan dan pihak non-katolik tidak harus mengucapkan doa-doa orang katolik. Maka tatacara itu tidak akan mengganggu iman masing-masing. Yang mengganggu biasanya justru kalau pernikahan itu dilangsungkan di mesjid karena pihak katolik harus mengucapkan syahadat, atau di beberapa gereja protestan karena pihak katolik harus dibaptis secara protestan. Untuk jadi orang katolik tidak mudah, harus pelajaran minimal sekitar setahun, harus ujian tertulis, tes wawancara dengan pastor, melakukan beberapa latihan, dan kalau dianggap tidak lulus ya tidak akan dibaptis. Gereja katolik tidak rakus pengikut, karena yang penting bukan banyaknya, tetapi mutunya pengikut Jesus. “Banyak yang dipanggil, tetapi sedikit yang dipilih,” kata injil. Semua dipanggil, tetapi kalau belum terpilih ya tidak akan pernah menjadi orang katolik.
Perkawinan adalah peristiwa sadar dan terencana, maka tidak ada yang disembunyikan dari pihak katolik. Bahkan orang katolik yang berjanji mendidik anak secara katolik pun janjinya diketahui pihak non-katolik.

C.    Syarat-Syarat dan Halangan Perkawinan

Syarat-syarat perkawinan
Orang yang diperbolehkan oleh hukum untuk menikah Setiap orang yang tidak dilarang oleh hukum dapat menikah (kanon 1058). Menikah adalah hak asasi dan fundamental manusia. Hak ini meliputi juga hak untuk melangsungkan pernikahan dan memilih calon partner hidup­nya secara bebas. Jadi, hanya orang yang bebas dan tidak dilarang oleh hukum saja yang dapat menikah dalam Gereja Katolik.
Kesepakatan perkawinan sebagai unsur esensial dan mutlak
"Kesepakatan antara orang-orang yang menurut hukum mampu dan yang dinyatakan secara legitim, membuat perkawinan; kesepakatan itu tidak dapat diganti oleh kuasa manusiawi manapun" (kanon 1057 §1). "Kesepakatan ini menjadi syarat mutlak diadakannya suatu perkawinan yang sah. Kesepa­katan perkawinan adalah perbuatan kemauan dengan mana pria dan wanita saling menyerahkan diri dan saling menerima untuk membentuk perkawinan dengan perjanjian yang tak dapat ditarik kembali (kanon 1057 §2)': Kesepakatan tersebut harus dibuat secara bebas, artinya tidak ada paksaan atau desakan dari luar dan atas kemauan sendiri, tidak ada paksaan dari pihak manapun (lih. kanon 1103). Kesepakatan ini dilakukan secara sadar, artinya tahu apa yang ia sepakati; perkawinan adalah suatu persekutuan tetap antara seorang pria dengan seorang wanita, terarah pada kelahiran anak, dengan suatu kerja sarna seksual (lih. kanon 1096).
Kesepakatan nikah harus dinyatakan secara lisan, atau jika mereka ti­dak dapat berbicara, dinyatakan dengan isyarat-isyarat yang senilai. Dan, ke­dua mempelai harus hadir pada saat upacara pernikahan dilangsungkan (lih. kanon 1104). Dalam keadaan khusus, kesepakatan ini juga dapat didelegasikan kepada orang lain.

Halangan-halangan perkawinan
Halangan-halangan yang berkaitan dengan hukum Gereja dapat diberi dispensasi, sedangkan halangan yang berkaitan dengan hukum ilahi tidak dapat diberi dispensasi oleh Ordinaris Wilayah.

·         Halangan nikah dari hukum ilahi
Halangan nikah dikatakan berasal dari hukum ilahi jika halangan itu bersumber dari hukum kodrat yang dibuat dan diatur oleh Allah sendiri dalam tata ciptaan, khu­susnya dalam hakikat dan martabat manusia (hukum ilahi-kodrati), atau ditetapkan oleh Allah melalui pewahyuan (hukum ilahi positif). Meskipun halangan ini bersumber dari hukum ilahi, namun yang mendeklarasikan secara eksplisit dan memasukkannya ke dalam KHK adalah kuasa legislatif tertinggi Gereja (bdk. kanon 1075). Menurut dok­trin umum, halangan ini adalah:
·         impotensi seksual yang bersifat tetap (kanon 1084)
·         ikatan perkawinan sebelumnya (kanon 1085)
·         hubungan darah dalam garis lurus, baik ke atas maupun ke bawah (kanon 1091 §1)

·         Halangan nikah dari hukum gerejawi
Halangan nikah dikatakan bersifat gerejawi karena diciptakan oleh otoritas Gereja. Gereja yang tampil di dunia ini dengan struktur dan ciri masyarakat yang kelihatan me­miliki undang-undangnya sendiri yang dibuat oleh otoritas gerejawi yang berwenang untuk mencapai tujuan-tujuan khasnya secara lebih efektif, yakni menegakkan dan mempromosikan kesejahteraan umum komunitas gerejawi yang bersangkutan. Kes­ejahteraan umum ini harus sesuai dengan misi yang diterimanya sendiri dari Kristus, misi yang mengatasi dan melampaui kesejahteraan masing-masing anggota (kanon 114 §1). Selain kesejahteraan umum, hukum Gereja dibuat untuk membantu setiap orang mencapai keselamatan jiwanya karena keselamatan jiwa-jiw'a adalah norma hukum ter­tinggi (kanon 1752).

Menurut Kitab Hukum Kanonik, halangan-halangan itu adalah:
·         Kurangnya umur (bdk. kan 1083):
Syarat umur yang dituntut oleh kodeks 1983 adalah laki-laki berumur 16 tahun dan perempuan berumur 14 tahun dan bukan kematangan badaniah. Tetapi hukum kodrati menuntut kemampuan menggunakan akalbudi dan mengadakan penilaian secukupnya dan “corpus suo tempore habile ad matrimonium”. Hukum sipil sering mempunyai tuntutan umur lebih tinggi untuk perkawinan dari pada yang dituntut hukum Gereja. Jika salah satu pihak belum mencapai umur yang ditentukan hukum sipil, Ordinaris wilayah harus diminta nasehatnya dan izinnya diperlukan sebelum perkawinan itu bisa dilaksanakan secara sah (bdk kan. 1071, §1, no.3). Izin semacam itu juga harus diperoleh dari Ordinaris wilayah dalam kasus di mana orang tua calon mempelai yang belum cukup umur itu tidak mengetahui atau secara masuk akal tidak menyetujui perkawinan itu (bdk. kan 1071, §1, no.6).
·         Impotensi (bdk kan. 1084):
Impotensi itu adalah halangan yang menggagalkan, demi hukum kodrati, dalam perkawinan. Sebab impotensi itu mencegah suami dan istri mewujudkan kepenuhan persatuan hetero seksual dari seluruh hidup, badan dan jiwa yang menjadi ciri khas perkawinan. Yang membuat khas persatuan hidup suami istri adalah penyempurnaan hubungan itu lewat tindakan mengadakan hubungan seksual dalam cara yang wajar. Impotensi yang menggagalkan perkawinan, haruslah sudah ada sebelum perkawinan dan bersifat tetap. Pada waktu perkawinan sudah ada, bersifat tetap maksudnya impotensi itu terus menerus dan bukan berkala, serta tidak dapat diobati kecuali dengan operasi tidak berbahaya. Impotensi ada dua jenis: bersifat absolut dan relatif. Impotensi absolut jika laki-laki atau perempuan sama sekali impotens. Impotensi relatif jika laki-laki atau perempuan tertentu ini tidak dapat melaksanakan hubungan seksual. Dalam hal absolut orang itu tidak dapat menikah sama sekali, dalam impotensi relatif pasangan tertentu juga tidak dapat menikah secara sah.
·         Adanya ikatan perkawinan (bdk. kan 1085):
Ikatan perkawinan terdahulu menjadi halangan yang menggagalkan karena hukum ilahi. Kan 1085, §1: menghilangkan ungkapan “kecuali dalam hal privilegi iman” (Jika dibandingkan dengan kodeks 1917). Ungkapan ini berarti jika seorang yang dibaptis menggunakan privilegi iman walau masih terikat oleh ikatan perkawinan terdahulu, dia bisa melaksanakan perkawinan secara sah dan ketika perkawinan baru itu dilaksanakan ikatan perkawinan lama diputuskan.
·         Disparitas cultus (bdk. kan 1086):
Perkawinan antara dua orang yang diantaranya satu telah dibaptis dalam Gereja Katolik atau diterima di dalamnya dan tidak meninggalkannya dengan tindakan formal, sedangkan yang lain tidak dibaptis, adalah tidak sah. Perlu dicermati ungkapan “meninggalkan Gereja secara formal” berarti melakukan suatu tindakan yang jelas menunjukkan etikat untuk tidak menjadi anggota Gereja lagi. Tindakan itu seperti menjadi warga Gereja bukan Katolik atau agama Kristen, membuat suatu pernyataan di hadapan negara bahwa dia bukan lagi Katolik. Namun demikian janganlah disamakan tindakan itu dengan orang yang tidak pergi ke Gereja Katolik lagi tidak berarti meninggalkan Gereja. Ada dua alasan tentang norma ini: pertama karena tujuan halangan ini adalah untuk menjaga iman katolik, tidak ada alasan mengapa orang yang sudah meninggalkan Gereja harus diikat dengan halangan itu. Kedua, Gereja tidak mau membatasi hak orang untuk menikah.
Perkawinan yang melibatkan disparitas cultus (beda agama) ini, sesungguhnya tetap dapat dianggap sah, asalkan: 1) sebelumnya pasangan memohon dispensasi kepada pihak Ordinaris wilayah/ keuskupan di mana perkawinan akan diteguhkan. Dengan dispensasi ini, maka perkawinan pasangan yang satu Katolik dan yang lainnya bukan Katolik dan bukan Kristen tersebut tetap dapat dikatakan sah dan tak terceraikan; setelah pihak yang Katolik berjanji untuk tetap setia dalam iman Katolik dan mendidik anak-anak secara Katolik; dan janji ini harus diketahui oleh pihak yang non- Katolik (lih. kan 1125). 2) Atau, jika pada saat sebelum menikah pasangan tidak mengetahui bahwa harus memohon dispensasi ke pihak Ordinaris, maka sesudah menikah, pasangan dapat melakukan Convalidatio (lih. kann. 1156-1160) di hadapan imam, agar kemudian perkawinan menjadi sah di mata Gereja Katolik.
·         Tahbisan suci (bdk. kan. 1087):
Adalah tidak sahlah perkawinan yang dicoba dilangsungkan oleh mereka yang telah menerima tahbisan suci, Kaul kemurnian dalam suatu tarekat religius (bdk. kan. 1088), Kaul kekal kemurnian secara publik yang dilaksanakan dalam suatu tarekat religius dapat menggagalkan perkawinan yang mereka lakukan.
·         Penculikan dan penahanan (bdk. kan. 1089):
Antara laki-laki dan perempuan yang diculik atau sekurang-kurangnya ditahan dengan maksud untuk dinikahi, tidak dapat ada perkawinan, kecuali bila kemudian setelah perempuan itu dipisahkan dari penculiknya serta berada di tempat yang aman dan merdeka, dengan kemauannya sendiri memilih perkawinan itu. Bahkan jika perempuan sepakat menikah, perkawinan itu tetap tidak sah, bukan karena kesepakatannya tetapi karena keadaannya yakni diculik dan tidak dipisahkan dari si penculik atau ditahan bertentangan dengan kehendaknya.
·         Kejahatan (bdk. kan. 1090):
Tidak sahlah perkawinan yang dicoba dilangsungkan oleh orang yang dengan maksud untuk menikahi orang tertentu melakukan pembunuhan terhadap pasangan orang itu atau terhadap pasangannya sendiri.
·         Persaudaraan (konsanguinitas (bdk. kan. 1091):
Alasan untuk halangan ini adalah bahwa perkawinan antara mereka yang berhubungan dalam tingkat ke satu  garis lurus bertentangan dengan hukum kodrati. Hukum Gereja merang perkawinan di tingkat lain dalam garis menyamping, sebab melakukan perkawinan di antara mereka yang mempunyai hubungan darah itu bertentangan dengan kebahagiaan sosial dan moral suami-isteri itu sendiri dan kesehatan fisik dan mental anak-anak mereka.
·         Hubungan semenda (bdk. kan. 1092):
Hubungan semenda dalam garis lurus menggagalkan perkawinan dalam tingkat manapun. Kesemendaan adalah hubungan yang timbul akibat dari perkawinan sah entah hanya ratum atau ratum consummatum. Kesemendaan yang timbul dari perkawinan sah antara dia orang tidak dibaptis akan menjadi halangan pada hukum Gereja bagi pihak yang mempunyai hubungan kesemendaan setelah pembaptisan dari salah satu atau kedua orang itu. Menurut hukum Gereja hubungan kesemendaan muncul hanya antara suami dengan saudara-saaudari dari isteri dan antara isteri dengan saudara-saaudara suami. Saudara-saudara suami tidak mempunyai kesemendaan dengan saudara-saudara isteri dan sebaliknya. Menurut kodeks baru 1983 hubungan kesemendaan yang membuat perkawinan tidak sah hanya dalam garis lurus dalam semua tingkat.
·         Halangan kelayakan publik (bdk. kan. 1093):
Halangan ini muncul dari perkawinan tidak sah yakni perkawinan yang dilaksanakan menurut tata peneguhan yang dituntut hukum, tetapi menjadi tidak sah karena alasan tertentu, misalanya cacat dalam tata peneguhan. Halangan ini muncul juga dari konkubinat yang diketahui publik. Konkubinat adalah seorang laki-laki dan perempuan hidup bersama tanpa perkawinan atau sekurang-kurangnya memiliki hubungan tetap untuk melakukan persetubuhan kendati tidak hidup bersama dalam satu rumah. Konkubinat dikatakan publik kalau dengan mudah diketahui banyak orang.
·         Adopsi (bdk. kan. 1094):
Tidak dapat menikah satu sama lain  dengan sah mereka yang mempunyai pertalian hukum yang timbul dari adopsi dalam garis lurus atau garis menyamping tingkat kedua. Menurut norma ini pihak yang mengadopsi dihalangi untuk menikah dengan anak yang diadopsi, dan anak yang diadopsi dihalangi untuk menikah dengan anak-anak yang dilahirkan dari orang tua yang mengadopsi dia. Alasannya karena adopsi mereka menjadi saudara-saudari se keturunan.

Pembedaan kedua jenis halangan ini membawa konsekuensi hukum yang sangat besar. Halangan-halangan yang bersifat ilahi mengikat semua orang, baik yang dibaptis maupun yang tidak dibaptis, sedangkan halangan yang bersumber dari hukum gerejawi mengikat mereka yang dibaptis dalam Gereja Katolik atau yang diterima di dalamnya (kanon 1059). Halangan yang bersumber dari hukum ilahi tidak bisa didispensasi, se­dangkan dari hukum gerejawi dapat didispensasi oleh otoritas Gereja yang berwenang sesuai ketentuan yang berlaku.

D.    Panggilan Dasar Keluarga Katolik

Menyambut dan mencintai kehidupan
Berdasarkan kodratnya, perkawinan terarah pada kelahiran anak. Anak yang telah dikonsepsi harus dipelihara dan dirawat dengan penuh cinta sehingga anak yang merupakan mahkota perkawinan dan buah cinta sungguh dapat tumbuh menjadi manusia yang utuh. Melalui hal ini, suami-istri menjadi mi­tra Allah dalam menurunkan kehidupan baru.
Dalam konteks inilah keluarga menjadi temp at persemaian dan perlindungan hidup manusia. Di tengah situasi dunia yang ditandai oleh kultur kematian, keluar ga kristiani dipanggil untuk menjadi pencinta, perawat, penjaga, dan pembela kehidupan, mulai dari konsepsi sampai pada kematian alamiah. Ke­luarga dipanggil untuk menjadi pewarta Injil kehidupan, siap me'nerima ke­hadiran manusia baru dalam kondisi apa pun. Hal ini penting direnungkan sebab dalam masyarakat yang ditandai oleh kultur kematian, hidup manusia diukur dan dinilai berdasarkan kualitas dan prestasi, sementara hidup orang­orang yang menderita cacat bawaan, penderita sakit tak tersembuhkan, usia lanjut, dianggap hanya sebagai beban keluarga dan layak diakhiri. Maka, kelu­arga Katolik dipanggil untuk menjadi pendukung Injil kehidupan (Evangelium Vitae) dengan gerakan Pro Life.
Berkaitan dengan tugas dan misi keluarga untuk menjadi pembela kehidupan sejak dini, pasangan suami-istri dalam mengusahakan kesejahteraan hidup bersama harus tetap memperhatikan nilai-nilai moral sebagaimana diajarkan oleh Gereja selaku guru iman dan moral sejati. Dalam hal ini, segala macam paksaan dan intimidasi yang diarahkan kepada pasangan suami-istri Katolik untuk menggunakan alat-alat kontrasepsi artifisial, baik yang sifatnya kontra­konsepsi maupun yang bersifat abortif, dinilai melanggar kebebasan suara hati dan melanggar nilai-nilai moral.
Panggilan pada kebapaan dan keibuan yang bertanggung jawab menuntut pasangan suami-istri Katolik untuk mengikuti ajaran moral yang benar. Hal ini semakin relevan untuk dunia saat ini, tempat kita hidup dalam dunia yang ditandai oleh mentalitas hedonis sehingga seksualitas dan hubungan mesra suami-istri (persetubuhan) dipisahkan dari dimensi spiritual dan:makna yang sesungguhnya, yakni sebagai ungkapan saling pemberian diri secara timbal balik. Dunia saat ini juga ditandai oleh adanya pemisahan antara, kebebasan dengan kebenaran dan tanggung jawab. Orang sekarang menuntut kebebasan mutlak: bebas untuk melakukan apa saja, bebas dari norma moral, ,dan bebas dari tanggung jawab. Hal ini sudah meresap dalam mentalitas sebagian besar orang, termasuk orang Katolik. Hubungan seksual semata-mata hanya dilaku­kan untuk mencari kenikmatan, tanpa memahami hakikat dan maknanya. Dalam situasi demikian, tidak jarang orang menganggap pasangan hidupnya tidak lebih hanya sebagai objek pemuas nafsu seksnya. Dengan demikian, manusia direduksi pada objek dan tidak diperlakukan sebagai subjek yang bermartabat.

Menjadi pendidik utama dan pertama
Orang tua memiliki tugas dan tanggung jawab pertama dan utama dalam mendidik anak, dalam bidang keagamaan, kesusilaan, seksualitas, kemurnian, budaya, dan kema­syarakatan. Pendidikan meliputi dimensi kognitif (intelektual), afektif (emosi dan per­asaan), etika (nilai-nilai moral), dan estetika (nilai-nilai keindahan)
Dalam rangka memenuhi tugas mendidik anak dalam bidang hidup keimanan, orang tua pertama-tama dituntut memiliki pengalaman iman yang baik, me­nampilkan perilaku hidup yang baik sebab anak akan lebih mudah mencon­toh apa yang diperbuat orang tua. Alangkah baiknya, setiap keluarga Katolik membiasakan diri untuk mengadakan doa bersama, membaca, dan merenung­kan Sabda Tuhan bersama. Oengan demikian, keluarga menjadi Gereja mini. Keluarga menjadi kesatuan yang melambangkan kesatuan dari ketiga Pribadi Ilahi: Bapa, Putra, dan Roh Kudus. Keluarga adalah Gereja mini, tempat ke­satuan bapak-ibu dan anak-anak menjadi komunitas iman "di mana ada dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka" (Mat 18:20). Oalam keluarga, seorang anak sungguh dapat menge­nal dan mengalami Allah. Oleh karena itu dalamkeluarga kristiani, orang tua harus membiasakan diri mengadakan doa bersama, ikut dalam perayaan eka­risti, menerima sakramen pengampunan secara teratur.
Untuk menjaga kekudusan keluarga Katolik, rahmat sakramen perkawinan memberikan kekuatan kepada pasangan suami-istri untuk saling mengudus­kan dan menyempurnakan. Di samping itu, pasangan suami-istri Katolik dalam hidup sehari-hari hendaknya menanamkan kesadaran dalam diri mereka dan dalam diri anak-anak untuk merindukan dan secara teratur menyambut Sakra­men Pengampunan Dosa. Dengan demikian, kita tidak akan membiarkan kelemahan-kelemahan manusiawi menjadikan kita budak dosa, tetapi dengan kerendahan hati, mau mendekatkan diri kepada Allah Yang Maharahim. Kera­himan Allah ini mengatasi kedegilan dan ketidaksetiaan manusia pada perjan­jian yang telah dibuat dengan Allah.
Dalam keluarga, seorang anak seharusnya juga mendapat pendidikan menge­nai nilai-nilai moral. Orang tua mempunyai tugas sangat berat untuk mem­bentuk anak-anak yang sungguh memiliki integritas moral. Untuk itu dalam keluaga, anak-anak dibiasakan belajar membuat keputusan sendiri dan ber­tanggung jawab atas segala perbuatannya. Hal ini tentunya dilakukan secara gradual sesuai dengan perkembangan pemikiran dan pemahaman anak se­bagaimana digambarkan dalam tingkat-tingkat perkembangan moral menu­rut Lowrence Kohlberg: tingkat prakonvensional, tingkat konvensional, dan tingkat pasca konvensional. Berkaitan dengan pendidikan moral dan kesusi­laan, orang tua harus menanamkan nilai-nilai luhur, penghormatan terhadap nilai-nilai kehidupan, penghargaan terhadap sesama manusia yang dimulai dalam lingkup keluarga.
Keluarga juga menjadi tempat pertama dan utama dalam pendidikan kese­tiakawanan dan semangat sosial anak. Bagaimana orang tua menciptakan iklim yang kondusif yang memungkinkan anak dapat saling berbagi dengan sesamanya, mau memperhatikan kebutuhan orang lain, menumbuhkan se­mangat mau saling membantu dan melayani, semangat rela berkorban, dan mau saling menghargai.
Orang tua juga memiliki tugas dan tanggung jawab utama dan pertama dalam menyelengarakan pendidikan seksualitas, cinta, dan kemurnian. Pendidikan seksualitas tentunya harus diberikan secara gradual dan proporsional. Seka­rang, bukan zamannya lagi menganggap seks sebagai barang tabu. Pendidik­an seksualitas ini sangat penting untuk membantu pertumbuhan anak. Bagai­mana orang tua memberi penjelasan tentang perubahan-perubahan fisik dan psikologis yang dial ami oleh putra-putrinya.

Terlibat dalam misi perwartaan
Keluarga Katolik juga mempunyai tugas untuk berpartisipasi dalam misi pewar­taan Gereja yang diterima dari Yesus Kristus, yaitu misi kenabian, keimanan, dan rajawi, melalui penghayatan cinta kasih dalam seluruh perjalanan hidup mereka membangun keluarga yang dijiwai oleh semangat pelayanan, pengor­banan, kesetiaan, pengabdian, membagikan kekayaan rohani yang telah mereka terima dalam Sakramen Perkawinan sebagai cerminan dari cinta Yesus Kristus kepada Gereja-Nya (lih. FC 50).

Terlibat aktif dalam hidup bermasyarakat.
Dalam bidang kemasyarakatan, otang tua mempunyai kewajiban untuk mengajarkan kepada anak-anak dimensi sosial manusia. Anak dididik untuk memi­liki jiwa dan semangat solider, setia kawan, semangat berkorban, dan sehati­sejiwa dengan mereka yang berkekurangan. Pendidikan dimulai dalam keluar­ga. Anak dididik dan dilatih untuk mau membagi apa yang dimiliki. Keluarga Katolik dipanggil untuk terlibat aktif dalam membangun persaudaraan sejati (koinonia) yang didasari cinta, keadilan, dan kebenaran.

E.     Hak dan Kewajiban Suami-Istri dan Orang Tua
Suami dan istri memiliki kewajiban dan hak yang sarna mengenai hal-hal yang menyangkut persekutuan hidup pernikahan (lih. kanon 1135). Sebagai orang tua, mereka berkewajiban berat, dengan sekuat tenaga meng­usahakan pendidikan anak, baik fisik, sosial, kultural, moral, maupun religius (lih.kanon 1136).

Hak-hak dasar keluarga
Keluarga sebagai sel dasar masyarakat dan menjadi prasyarat adanya masya­rakat. Oleh karena itu, keluarga memiliki hak dasar untuk dilindungi ke­beradaannya oleh masyarakat/negara. Setiap keluarga memiliki hak untuk mengembangkan diri dan memajukan kesejahteraannya tanpa harus diha­langi oleh negara. Dalam hal-hal tertentu, keluarga memiliki hak pribadi.
Keluarga memiliki hak untuk hidup dan berkembang sebagai keluarga, arti­nya hak setiap orang betapa pun miskinnya, untuk membantu keluarga serta memiliki upaya-upaya yang memadai untuk menggunakannya.
Keluarga memiliki hak untuk melaksanakan tanggung jawabnya berkenaan dengan penyaluran kehidupan dan pendidikan anak-anak.
Keluarga memiliki hak untuk mendidik anak-anak sesuai dengan tradisi­-tradisi keluarga sendiri, dengan nilai-nilai religius dan budayanya, dengan per­lengkapan upaya-upaya serta lembaga-lembaga yang dibutuhkan.
Setiap keluarga yang miskin dan menderita memiliki hak untuk mendapat jaminan fisik, sosial, politik, dan ekonomi.
Di samping itu, orang tua juga harus memperhatikan dan menghormati marta­bat dan hak-hak anak. Sebenarnya sudah dengan sendirinya, martabat pribadi manusia dikenakan pada anak yang adalah manusia. Tetapi dalam kenyataan, sering kali martabat anak kurang diperhatikan, misalnya dalam sikap orang tua yang memperalat anak untuk tujuan, impian, dan obsesinya sendiri. Contohnya, memaksakan anak untuk berprestasi demi gengsi orang tua sehingga anak mera­sa tertekan.
Menghormati martabat anak dapat dikonkretkan dengan menghor­mati hak-hak asasi anak.

F.     Tantangan Hidup Berkeluarga dan Solusinya

Tantangan
Tantangan dalam membangun keluarga pada zaman sekarang dapat dikelompok­kan ke dalam dua jenis tantangan, yakni: tantangan internal dan eksternal. Yang di­maksud dengan tantangan internal adalah apa yang berkaitan dengan pribadi-pribadi pasutri, yakni menyangkut kedewasaan pasangan, baik secara intelektual, psikologis, emosional, spiritual, maupun moral. Yang termasuk tantangan eksternal dapat berupa keadaan masyarakat dunia dan intervensi pihak ketiga: mertua, saudara, PIL, dan WIL. Konkretnya, tantangan tersebut berupa:
Mentalitas materialistis: kehausan dan kerinduan untuk menumpuk kekayaan, uang, mengukur segalanya dengan materi, bahkan anak pun dianggap sebagai in­vestasi, bukan sebagai buah kasih sayang. Relasi antarpasutri pun terpengaruh. "Ada uang abang kusayang, tidak ada uang abang kutendang!"
Hedonisme .. menjadikan kenikmatan sebagai tujuan segalanya, hubungan seksu­al pun hanya dipahami sebatas pemuas nafsu seks, menjadikan pasangan (suami ­istri) sebagai objek pemuas insting dan dorongan seksual.
Konsumerisme" keinginan untuk mengonsumsi dipicu oleh kecanggihan te­knologi periklanan yang begitu persuasif. Hal ini menjadi faktor pemicu masalah dalam hubungan keluarga.
Utilitarisme :menilai sesuatu hanya berdasarkan segi kegunaannya, bahayanya kalau memperlakukan istri-suami hanya karena kegunaan dan fungsi.
Individualisme : mementingkan kepentingan dan kesenangannya sendiri, tidak peduli orang lain, tidak ada kerelaan untuk mengalah dan menyisihkan kepent­ingannya sendiri, untuk mendahulukan kepentingan bersama. Akibatnya, setiap unsur dalam keluarga diabaikan.
Relativisme moral : tidak ada nilai yang diahut dan diterima secara universal, semuanya serba relatif .. mengarah pada sikap permisif, semua serba boleh.
Kesibukan mengejar karier .. tugas dan tanggung jawab utama dalam keluarga diabaikan .. rumah hanya dijadikan losmen. Dalam hal ini, pandangan tradisional tentang tugas dan panggilan luhur yang dimiliki setiap wanita sebagai ibu dan istri, tetap relevan, tanpa mengecualikan mereka untuk berpartisipasi dalam kegiatan ekonomi, sosial, dan keagamaan.
Kesibukan antara suami-istri .. membawa dampak negatif dalam kehidupan ke­luarga. Komunikasi antara pasutri renggang. Komunikasi antara orang tua-anak renggang sehingga anak berbuat sesuatu yang aneh-aneh di luar rumah: sekolah, lingkungan; menjadi pecandu narkoba.
Ketidaksetiaan .. penyelewengan-perselingkuhan baik itu dilakukan oleh pihak suami maupun oleh pihak istri (PIL dan WIL). Bagaimana sikap Anda dihadapkan pada ketidaksetiaan dan pengkhianatan pasangan Anda?

Solusi
Dalam usaha memelihara hidup bersama dalam keluarga, lebih-Iebih dalam situ­asi sulit, mereka dianjurkan terus-menerus membangun sikap saling mengampuni, bukan sebaliknya. Usaha pemulihan hidup bersama harus terus diperjuangkan ter­lebih untuk mengatasi bahaya perceraian dalam hidup perkawinan, kasus perpisa­han dalam pernikahan (lih. kanon 1151-1153).
Untuk membangun satu kebersamaan hidup yang saling membahagiakan, per­lu diperhatikan adanya kejujuran dan keterbukaan satu sarna lain, menciptakan kom'unikasi yang mendalam, komunikasi sampai ke tingkat perasaan, saling mem­percayai, semangat berkorban, kesediaan untuk mendengarkan satu sarna lain, pengosongan diri (bdk. Flp 2:5-11), kerendahan hati, kesetiaan, saling mengam­puni, saling melayani (lihat perbuatan simbolik Yesus mencuci kaki para rasul) , saling meneguhkan, saling menjaga nama baik.
Diusahakan adanya correctio fraterna (saling. memberi masukan dalam sua sana persaudaraan) antara suami-istri dan anak-anak, lalu ditutup doa bersama sebagai sarana untuk membina hubungan antarpribadi dalam keluarga (bdk. Mat 18:15­20).
Segala macam persoalan yang menyangkut kebijakan suami-istri dan keluarga ha­rus dibicarakan bersama ada perencanaan bersama dan risiko atau keberhasilan ditanggung bersama. Dalam hal ini, tidak akan ada saling lempar tanggung jawab (jangan meniru Adam dan Hawa yang melemparkan tanggung jawab).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar