Serba-Serbi Perkawinan Katolik
A. Arti, Hakikat, Tujuan, dan Sifat-Sifat Perkawinan
Arti
dan hakikat perkawinan secara umum
Tujuan hidup
manusia adalah mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan. Untuk mencapainya,
manusia menempuh beberapa cara: pertama, dengan hidup selibat-membiara
(sebagai biarawan-biarawati); kedua, memenuhi panggilan hidup sebagai awam yang
menikah atau awam yang hidup selibat secara sukarela. Sebagai pilihan hidup,
perkawinan dilindungi oleh hukum.
Dalam arti umum,
perkawinan pada hakikatnya adalah persekutuan hidup antara pria dan wanita,
atau dasar saling mencintai untuk membentuk hidup bersama secara tetap dan
memiliki tujuan yang sama, yaitu saling membahagiakan. Tujuan mereka membentuk
persekutuan hidup ini adalah untuk mencapai kebahagiaan dan melanjutkan
keturunan. Oleh karena itu, dalam agama atau kultur tertentu, apabila
perkawinan tidak dapat mendatangkan keturunan, seorang suami dapat mengambil
wanita lain dan menjadikan dia sebagai istri agar dapat memberi keturunan.
Tujuan
dan sifat dasar perkawinan
Saling
membahagiakan dan mencapai kesejahteraan suami-istri (segi unitik). Kedua pihak
memiliki tanggung jawab dan memberi kontribusi untuk mewujudkan kesejahteraan
dan kebahagiaan suami-istri.
Terarah pada
keturunan (segi prokreatik). Kesatuan sebagai pasutri dianugerahi rahmat
kesuburan untuk memperoleh buah cinta berupa keturunan manusia-manusia baru
yang akan menjadi mahkota perkawinan. Anak yang dipercayakan Tuhan harus
dicintai, dirawat, dipelihara, dilindungi, dididik secara Katolik. Ini semua
merupakan tugas dan kewajiban pasutri yang secara kodrati keluar dari hakikat
perkawinan.
Menghindari
perzinaan dan penyimpangan seksual. Perkawinan dimaksudkan juga sebagai sarana
mengekspresikan cinta kasih dan hasrat seksual kodrati manusia. Dengan
perkawinan, dapat dicegah kedosaan karena perzinaan atau penyimpangan hidup
seksual. Dengan perkawinan, setiap manusia diarahkan pada pasangan sah yang
dipilih dan dicintai dengan bebas sebagai teman hidup. Hal ini sejalan dengan
apa yang dikatakan oleh Paulus, "Tetapi, kalau mereka tidak dapat
menguasai diri, baiklah mereka kawin. Sebab lebih baik kawin daripada hangus
karena nafsu" (lKor 7:9).
Catatan penting:
dalam perkawinan Katolik, kemandulan, baik salah satu maupun kedua pasangan,
tidak membatalkan perkawinan, dan tidak menjadi alasan untuk meninggalkan
pasangan kemudian mencari wanita lain sebagai penggantinya. Anak adalah buah
kasih dan rahmat Allah melulu.
Kekhasan Perkawinan Katolik
Dalam kanon 1055
KHK 1983, dapat dilihat pengertian dasar mengenai perkawinan Katolik.
"Dengan perjanjian, pria dan wanita membentuk kebersamaan seluruh hidup;
dari sifat kodratinya, perjanjian itu terarah pada kesejahteraan suami istri
serta kelahiran anak; oleh Kristus Tuhan, perjanjian perkawinan antara
orang-orang yang dibaptis diangkat ke martabat sakramen.
Cinta Kristus
menjadi dasar perkawinan Katolik (bdk. Yoh 15:9-17; Ef 5:22-33). Yang menjadi
dasar dalam membangun hidup berkeluarga adalah cinta Yesus Kristus kepada
Gereja- Nya. Suami dan istri dipanggil untuk saling mencintai secara timbal
balik, total dan menyeluruh, saling memberi dan menerima yang diungkapkan dalam
persetubuhan. Persetubuhan dilakukan secara manusiawi dengan memperhatikan
kondisi dan situasi pasangannya, penuh pengertian, dilakukan secara sukarela,
tanpa ada paksaan. Persetubuhan bukan hanya menunjukkan kesatuan fisik
biologis, tetapi juga kesatuan hati, kehendak, perasaan, dan visi, yakni
mengusahakan kebahagaiaan dan kesejahteraan bersama. Dengan persetubuhan,
sebuah perkawinan disempurnakan.
Sifat-sifat
perkawinan Katolik
Unitas, artinya
kesatuan antara seorang pria dan seorang wanita menurut relasi cinta yang
eksklusif. Dengan kata lain, tidak ada hubungan khusus di luar pasutri. Sifat
unitas mengecualikan relasi di luar perkawinan, poligami, PIL, WIL.
lndissolubilitas,
tak terceraikan, artinya ikatan perkawinan hanya diputuskan oleh kematian
salah satu pasangan atau keduanya. "Apa yang sudah disatukan Allah, tidak
boleh diceraikan manusia" (bdk. Mat 19:6; Mrk 10:9). Untuk itu, dituntut
adanya kesetiaan dalam untung dan malang, dalam suka dan duka. Dalam hal inilah
saling pengertian, pengampunan sangat dituntut.
Sakramental,
artinya sakramentalitas perkawinan dimulai sejak terjadinya
konsensus/perjanjian antara dua orang dibaptis yang melangsungkan perkawinan.
Perkawinan disebut sakramental, artinya menjadi tanda kehadiran Allah yang
menyelamatkan. Untuk itu, dari pasangan suami-istri dituntut adanya cinta yang
utuh, total, radikal, tak terbagi sebagaimana cinta Yesus kepada Gereja-Nya
(bdk. Ef 5:22-33).
Sakramentalitas
Perkawinan
Sakramentalitas
perkawinan hanya terjadi pada perkawinan orang-orang yang dibaptis (keduanya
dibaptis). Kanon 1055 menyebutkan bahwa Kristus telah mengangkat perkawinan
menjadi sakramen (§1) sehingga sifat perkawinan antara orang-orang yang telah
dibaptis adalah sakramen (§2). Kanon ini menandaskan adanya identitas antara
perjanjian perkawinan orang-orang dibaptis dengan sakramen. Identifikasi ini
membawa konsekuensi:
Semua perkawinan
sah yang diselenggarakan antara orang-orang yang dibaptis, dengan sendirinya
merupakan sakramen (§2). Dalam hal ini, tidak dituntut maksud khusus dari mempelai
untuk menerimanya sebagai sakramen. Artinya, perkawinan dua orang dibaptis
non-Katolik, misalnya, Protestan, dianggap sebagai sakramen meskipun mereka
tidak menganggapnya demikian.
Sakramentalitas
perkawinan tidak terletak pada pemberkatan pastor karena yang menjadi pelayan
sakramen perkawinan adalah kedua mempelai sendiri yang berjanji.
Orang-orang yang dibaptis tidak bisa
menikah dengan sah jika dengan maksud positif dan jelas mengecualikan
sakramentalitas perkawinan.
Perkawinan antara orang yang dibaptis,
dengan sendirinya akan diangkat ke dalam martabat sakramen jika keduanya
dipermandikan. Mereka tidak dituntut untuk mengadakan perjanjian nikah baru,
namun dapat meminta berkat pastor.
Perkawinan
sakramental ini disempurnakan melalui persetubuhan yang dilakukan secara
manusiawi. Dengan demikian, perkawinan disebut ratum, sacramentum et consummatum.
Perkawinan demikian bersifat tidak dapat diceraikan secara absolut (indissolubilitas
absolut).
Spiritualitas
Perkawinan
Dalam membangun
hidup berkeluarga, pasutri harus bersungguh-sungguh memberi kesaksian hidup,
menjadi sakramen, tanda keselamatan dan menghadirkan Kerajaan Allah. Dalam
keluarga, diciptakan damai, sukacita, pengampunan, cinta kasih, kerelaan
berkurban. "Sakramen Perkawinan menyalurkan kepada pasangan pasangan Kristen
kemampuan serta kesanggupan untuk menghayati panggilan mereka sebagai awam dan
karena itu, untuk mencari Kerajaan Allah dengan mengurusi hal-hal yang fana dan
mengaturnya seturut kehendak Allah (FC 47). Berkat sakramen perkawinan, suami
dan istri menunaikan kewajiban-kewajiban mereka sebagai suami-istri dalam
keluarga, mereka diresapi oleh Roh Kristus yang memenuhi mereka dengan iman,
harapan, dan cinta kasih. Demikianlah mereka semakin maju menuju kesempurnaan
mereka sendiri dan saling menguduskan dan karena itu, bersama-sama berperan
serta demi kemuliaan Allah Bapa (lih. FC 56// GS 48).
B.
BEDA
SAKRAMEN DAN PEMBERKATAN PERNIKAHAN
Sakramen
perkawinan adalah janji perkawinan yang saling diberikan dan dijalankan oleh
dua orang yang dibaptis dalam nama Bapa, Putra dan Roh Kudus. Mereka berjanji
setia satu sama lain sampai mati memisahkan mereka, dan mereka berjanji saling
menghormati dan mencintai, dengan modelnya atau contohnya adalah Tuhan Jesus
Kristus yang mencintai secara total umat manusia (modelnya bukan artis atau
manusia yang mencintai Tuhan, tapi Tuhan yang mencintai umat manusia seluruhnya).
Sedangkan pemberkatan perkawinan adalah janji perkawinan yang saling diberikan
dan dijanakan oleh seorang dibaptis dan tidak dibaptis di hadapan dua saksi
awam dan seorang imam. Inti isi janjinya sama: setia sampai mati memisahkan,
saling mencintai dan menghormati, hanya modelnya yang berbeda karena yang
katolik akan memakai model Jesus yang mencintai, sedang yang Islam
memakai muhamad atau orang tuanya sebagai model, atau yang budhis memakai Budha
atau orang tuanya sebagai model. Pernikahan beda agama demikian oleh karenanya
tidak menjadi sakramen karena pihak yang tidak katolik tidak atau belum
mengimani diri sendiri sebagai tanda dan sarana keselamatan Allah bagi
pasangannya, bahkan dia tidak/belum percaya pada sakramen itu. Kalau pihak non
katolik kemudian hari menjadi katolik dan percaya bahwa dirinya adalah
sakramen, maka perkawinan mereka otomatis menjadi sakramen, tidak perlu ada
pembaruan pernikahan beda agama yang telah mereka lakukan di gereja.
Yang paling
sedikit berbeda antara upacara sakramen dengan pemberkatan paling adalah
pertanyaan penyelidikan atas kesediaan pasangan, rumusan janji, doa dari imam,
juga pihak non katolik tidak diwajibkan untuk berdoa secara katolik tentu saja.
Tatacara
pemberkatan pernikahan akan dijelaskan dalam Kursus Persiapan Perkawinan.
Intinya adalah pasangan masing-masing menjawab beberapa pertanyaan mengenai
keikhlasan hati untuk melangsungkan perkawinan, mereka mengucapkan janji
perkawinan dengan intinya adalah kesetiaan, saling mengasihi dan menghormati
sampai kematian memisahkan, pengesahan perkawinan oleh imam, doa pemberkatan
oleh imam bagi pasangan itu, pengenaan cincin tanda cinta dan kesetiaan,
penandatanganan dokument perkawinan.
Tidak ada
tatacara yang membuat orang non-katolik menjadi orang katolik secara tidak
langsung, karena orang non-katolik bersama yang katolik akan menyusun teks
upacara perkawinan dan pihak non-katolik tidak harus mengucapkan doa-doa orang
katolik. Maka tatacara itu tidak akan mengganggu iman masing-masing. Yang
mengganggu biasanya justru kalau pernikahan itu dilangsungkan di mesjid karena
pihak katolik harus mengucapkan syahadat, atau di beberapa gereja protestan
karena pihak katolik harus dibaptis secara protestan. Untuk jadi orang katolik
tidak mudah, harus pelajaran minimal sekitar setahun, harus ujian tertulis, tes
wawancara dengan pastor,
melakukan beberapa latihan, dan kalau dianggap tidak lulus ya tidak akan
dibaptis. Gereja katolik tidak rakus pengikut, karena yang penting bukan
banyaknya, tetapi mutunya pengikut Jesus. “Banyak yang dipanggil, tetapi
sedikit yang dipilih,” kata injil. Semua dipanggil, tetapi kalau belum terpilih
ya tidak akan pernah menjadi orang katolik.
Perkawinan
adalah peristiwa sadar dan terencana, maka tidak ada yang disembunyikan dari
pihak katolik. Bahkan orang katolik yang berjanji mendidik anak secara katolik
pun janjinya diketahui pihak non-katolik.
C. Syarat-Syarat dan Halangan Perkawinan
Syarat-syarat
perkawinan
Orang yang
diperbolehkan oleh hukum untuk menikah Setiap orang yang tidak dilarang oleh
hukum dapat menikah (kanon 1058). Menikah adalah hak asasi dan fundamental
manusia. Hak ini meliputi juga hak untuk melangsungkan pernikahan dan memilih
calon partner hidupnya secara bebas. Jadi, hanya orang yang bebas dan tidak
dilarang oleh hukum saja yang dapat menikah dalam Gereja Katolik.
Kesepakatan
perkawinan sebagai unsur esensial dan mutlak
"Kesepakatan antara orang-orang yang menurut hukum mampu dan yang dinyatakan secara legitim, membuat perkawinan; kesepakatan itu tidak dapat diganti oleh kuasa manusiawi manapun" (kanon 1057 §1). "Kesepakatan ini menjadi syarat mutlak diadakannya suatu perkawinan yang sah. Kesepakatan perkawinan adalah perbuatan kemauan dengan mana pria dan wanita saling menyerahkan diri dan saling menerima untuk membentuk perkawinan dengan perjanjian yang tak dapat ditarik kembali (kanon 1057 §2)': Kesepakatan tersebut harus dibuat secara bebas, artinya tidak ada paksaan atau desakan dari luar dan atas kemauan sendiri, tidak ada paksaan dari pihak manapun (lih. kanon 1103). Kesepakatan ini dilakukan secara sadar, artinya tahu apa yang ia sepakati; perkawinan adalah suatu persekutuan tetap antara seorang pria dengan seorang wanita, terarah pada kelahiran anak, dengan suatu kerja sarna seksual (lih. kanon 1096).
"Kesepakatan antara orang-orang yang menurut hukum mampu dan yang dinyatakan secara legitim, membuat perkawinan; kesepakatan itu tidak dapat diganti oleh kuasa manusiawi manapun" (kanon 1057 §1). "Kesepakatan ini menjadi syarat mutlak diadakannya suatu perkawinan yang sah. Kesepakatan perkawinan adalah perbuatan kemauan dengan mana pria dan wanita saling menyerahkan diri dan saling menerima untuk membentuk perkawinan dengan perjanjian yang tak dapat ditarik kembali (kanon 1057 §2)': Kesepakatan tersebut harus dibuat secara bebas, artinya tidak ada paksaan atau desakan dari luar dan atas kemauan sendiri, tidak ada paksaan dari pihak manapun (lih. kanon 1103). Kesepakatan ini dilakukan secara sadar, artinya tahu apa yang ia sepakati; perkawinan adalah suatu persekutuan tetap antara seorang pria dengan seorang wanita, terarah pada kelahiran anak, dengan suatu kerja sarna seksual (lih. kanon 1096).
Kesepakatan
nikah harus dinyatakan secara lisan, atau jika mereka tidak dapat berbicara,
dinyatakan dengan isyarat-isyarat yang senilai. Dan, kedua mempelai harus
hadir pada saat upacara pernikahan dilangsungkan (lih. kanon 1104). Dalam
keadaan khusus, kesepakatan ini juga dapat didelegasikan kepada orang lain.
Halangan-halangan
perkawinan
Halangan-halangan yang berkaitan dengan
hukum Gereja dapat diberi dispensasi, sedangkan halangan yang berkaitan dengan
hukum ilahi tidak dapat diberi dispensasi oleh Ordinaris Wilayah.
·
Halangan nikah
dari hukum ilahi
Halangan
nikah dikatakan berasal dari hukum ilahi jika halangan itu bersumber dari hukum
kodrat yang dibuat dan diatur oleh Allah sendiri dalam tata ciptaan, khususnya
dalam hakikat dan martabat manusia (hukum ilahi-kodrati), atau ditetapkan oleh
Allah melalui pewahyuan (hukum ilahi positif). Meskipun halangan ini bersumber
dari hukum ilahi, namun yang mendeklarasikan secara eksplisit dan memasukkannya
ke dalam KHK adalah kuasa legislatif tertinggi Gereja (bdk. kanon 1075).
Menurut doktrin umum, halangan ini adalah:
·
impotensi
seksual yang bersifat tetap (kanon 1084)
·
ikatan
perkawinan sebelumnya (kanon 1085)
·
hubungan
darah dalam garis lurus, baik ke atas maupun ke bawah (kanon 1091 §1)
·
Halangan nikah
dari hukum gerejawi
Halangan
nikah dikatakan bersifat gerejawi karena diciptakan oleh otoritas Gereja.
Gereja yang tampil di dunia ini dengan struktur dan ciri masyarakat yang
kelihatan memiliki undang-undangnya sendiri yang dibuat oleh otoritas gerejawi
yang berwenang untuk mencapai tujuan-tujuan khasnya secara lebih efektif, yakni
menegakkan dan mempromosikan kesejahteraan umum komunitas gerejawi yang
bersangkutan. Kesejahteraan umum ini harus sesuai dengan misi yang diterimanya
sendiri dari Kristus, misi yang mengatasi dan melampaui kesejahteraan
masing-masing anggota (kanon 114 §1). Selain kesejahteraan umum, hukum Gereja
dibuat untuk membantu setiap orang mencapai keselamatan jiwanya karena
keselamatan jiwa-jiw'a adalah norma hukum tertinggi (kanon 1752).
Menurut Kitab Hukum Kanonik, halangan-halangan itu adalah:
·
Kurangnya umur
(bdk. kan 1083):
Syarat
umur yang dituntut oleh kodeks 1983 adalah laki-laki berumur 16 tahun dan
perempuan berumur 14 tahun dan bukan kematangan badaniah. Tetapi hukum kodrati
menuntut kemampuan menggunakan akalbudi dan mengadakan penilaian secukupnya dan
“corpus suo tempore habile ad matrimonium”. Hukum sipil sering mempunyai
tuntutan umur lebih tinggi untuk perkawinan dari pada yang dituntut hukum
Gereja. Jika salah satu pihak belum mencapai umur yang ditentukan hukum sipil,
Ordinaris wilayah harus diminta nasehatnya dan izinnya diperlukan sebelum
perkawinan itu bisa dilaksanakan secara sah (bdk kan. 1071, §1, no.3). Izin
semacam itu juga harus diperoleh dari Ordinaris wilayah dalam kasus di mana
orang tua calon mempelai yang belum cukup umur itu tidak mengetahui atau secara
masuk akal tidak menyetujui perkawinan itu (bdk. kan 1071, §1, no.6).
·
Impotensi (bdk
kan. 1084):
Impotensi
itu adalah halangan yang menggagalkan, demi hukum kodrati, dalam perkawinan.
Sebab impotensi itu mencegah suami dan istri mewujudkan kepenuhan persatuan
hetero seksual dari seluruh hidup, badan dan jiwa yang menjadi ciri khas
perkawinan. Yang membuat khas persatuan hidup suami istri adalah penyempurnaan
hubungan itu lewat tindakan mengadakan hubungan seksual dalam cara yang wajar.
Impotensi yang menggagalkan perkawinan, haruslah sudah ada sebelum perkawinan
dan bersifat tetap. Pada waktu perkawinan sudah ada, bersifat tetap maksudnya impotensi
itu terus menerus dan bukan berkala, serta tidak dapat diobati kecuali dengan
operasi tidak berbahaya. Impotensi ada dua jenis: bersifat absolut dan relatif.
Impotensi absolut jika laki-laki atau perempuan sama sekali impotens. Impotensi
relatif jika laki-laki atau perempuan tertentu ini tidak dapat melaksanakan
hubungan seksual. Dalam hal absolut orang itu tidak dapat menikah sama sekali,
dalam impotensi relatif pasangan tertentu juga tidak dapat menikah secara sah.
·
Adanya ikatan
perkawinan (bdk. kan 1085):
Ikatan
perkawinan terdahulu menjadi halangan yang menggagalkan karena hukum ilahi. Kan
1085, §1: menghilangkan ungkapan “kecuali dalam hal privilegi iman” (Jika
dibandingkan dengan kodeks 1917). Ungkapan ini berarti jika seorang yang
dibaptis menggunakan privilegi iman walau masih terikat oleh ikatan perkawinan
terdahulu, dia bisa melaksanakan perkawinan secara sah dan ketika perkawinan
baru itu dilaksanakan ikatan perkawinan lama diputuskan.
·
Disparitas
cultus (bdk. kan 1086):
Perkawinan
antara dua orang yang diantaranya satu telah dibaptis dalam Gereja Katolik atau
diterima di dalamnya dan tidak meninggalkannya dengan tindakan formal,
sedangkan yang lain tidak dibaptis, adalah tidak sah. Perlu dicermati ungkapan
“meninggalkan Gereja secara formal” berarti melakukan suatu tindakan yang jelas
menunjukkan etikat untuk tidak menjadi anggota Gereja lagi. Tindakan itu
seperti menjadi warga Gereja bukan Katolik atau agama Kristen, membuat suatu
pernyataan di hadapan negara bahwa dia bukan lagi Katolik. Namun demikian
janganlah disamakan tindakan itu dengan orang yang tidak pergi ke Gereja
Katolik lagi tidak berarti meninggalkan Gereja. Ada dua alasan tentang norma
ini: pertama karena tujuan halangan ini adalah untuk menjaga iman katolik,
tidak ada alasan mengapa orang yang sudah meninggalkan Gereja harus diikat
dengan halangan itu. Kedua, Gereja tidak mau membatasi hak orang untuk menikah.
Perkawinan
yang melibatkan disparitas cultus (beda agama) ini, sesungguhnya tetap
dapat dianggap sah, asalkan: 1) sebelumnya pasangan memohon dispensasi kepada
pihak Ordinaris wilayah/ keuskupan di mana perkawinan akan diteguhkan. Dengan
dispensasi ini, maka perkawinan pasangan yang satu Katolik dan yang lainnya
bukan Katolik dan bukan Kristen tersebut tetap dapat dikatakan sah dan tak
terceraikan; setelah pihak yang Katolik berjanji untuk tetap setia dalam iman
Katolik dan mendidik anak-anak secara Katolik; dan janji ini harus diketahui
oleh pihak yang non- Katolik (lih. kan 1125). 2) Atau, jika pada saat sebelum
menikah pasangan tidak mengetahui bahwa harus memohon dispensasi ke pihak
Ordinaris, maka sesudah menikah, pasangan dapat melakukan Convalidatio (lih.
kann. 1156-1160) di hadapan imam, agar kemudian perkawinan menjadi sah di mata
Gereja Katolik.
·
Tahbisan suci
(bdk. kan. 1087):
Adalah
tidak sahlah perkawinan yang dicoba dilangsungkan oleh mereka yang telah
menerima tahbisan suci, Kaul kemurnian dalam suatu tarekat religius (bdk. kan.
1088), Kaul kekal kemurnian secara publik yang dilaksanakan dalam suatu tarekat
religius dapat menggagalkan perkawinan yang mereka lakukan.
·
Penculikan dan
penahanan (bdk. kan. 1089):
Antara
laki-laki dan perempuan yang diculik atau sekurang-kurangnya ditahan dengan
maksud untuk dinikahi, tidak dapat ada perkawinan, kecuali bila kemudian
setelah perempuan itu dipisahkan dari penculiknya serta berada di tempat yang
aman dan merdeka, dengan kemauannya sendiri memilih perkawinan itu. Bahkan jika
perempuan sepakat menikah, perkawinan itu tetap tidak sah, bukan karena
kesepakatannya tetapi karena keadaannya yakni diculik dan tidak dipisahkan dari
si penculik atau ditahan bertentangan dengan kehendaknya.
·
Kejahatan (bdk.
kan. 1090):
Tidak
sahlah perkawinan yang dicoba dilangsungkan oleh orang yang dengan maksud untuk
menikahi orang tertentu melakukan pembunuhan terhadap pasangan orang itu atau
terhadap pasangannya sendiri.
·
Persaudaraan
(konsanguinitas (bdk. kan. 1091):
Alasan
untuk halangan ini adalah bahwa perkawinan antara mereka yang berhubungan dalam
tingkat ke satu garis lurus bertentangan dengan hukum kodrati. Hukum
Gereja merang perkawinan di tingkat lain dalam garis menyamping, sebab
melakukan perkawinan di antara mereka yang mempunyai hubungan darah itu
bertentangan dengan kebahagiaan sosial dan moral suami-isteri itu sendiri dan
kesehatan fisik dan mental anak-anak mereka.
·
Hubungan semenda
(bdk. kan. 1092):
Hubungan
semenda dalam garis lurus menggagalkan perkawinan dalam tingkat manapun.
Kesemendaan adalah hubungan yang timbul akibat dari perkawinan sah entah hanya
ratum atau ratum consummatum. Kesemendaan yang timbul dari perkawinan sah
antara dia orang tidak dibaptis akan menjadi halangan pada hukum Gereja bagi
pihak yang mempunyai hubungan kesemendaan setelah pembaptisan dari salah satu
atau kedua orang itu. Menurut hukum Gereja hubungan kesemendaan muncul hanya
antara suami dengan saudara-saaudari dari isteri dan antara isteri dengan
saudara-saaudara suami. Saudara-saudara suami tidak mempunyai kesemendaan
dengan saudara-saudara isteri dan sebaliknya. Menurut kodeks baru 1983 hubungan
kesemendaan yang membuat perkawinan tidak sah hanya dalam garis lurus dalam
semua tingkat.
·
Halangan
kelayakan publik (bdk. kan. 1093):
Halangan
ini muncul dari perkawinan tidak sah yakni perkawinan yang dilaksanakan menurut
tata peneguhan yang dituntut hukum, tetapi menjadi tidak sah karena alasan
tertentu, misalanya cacat dalam tata peneguhan. Halangan ini muncul juga dari
konkubinat yang diketahui publik. Konkubinat adalah seorang laki-laki dan
perempuan hidup bersama tanpa perkawinan atau sekurang-kurangnya memiliki
hubungan tetap untuk melakukan persetubuhan kendati tidak hidup bersama dalam
satu rumah. Konkubinat dikatakan publik kalau dengan mudah diketahui banyak
orang.
·
Adopsi (bdk.
kan. 1094):
Tidak
dapat menikah satu sama lain dengan sah mereka yang mempunyai pertalian
hukum yang timbul dari adopsi dalam garis lurus atau garis menyamping tingkat
kedua. Menurut norma ini pihak yang mengadopsi dihalangi untuk menikah dengan
anak yang diadopsi, dan anak yang diadopsi dihalangi untuk menikah dengan anak-anak
yang dilahirkan dari orang tua yang mengadopsi dia. Alasannya karena adopsi
mereka menjadi saudara-saudari se keturunan.
Pembedaan kedua
jenis halangan ini membawa konsekuensi hukum yang sangat besar.
Halangan-halangan yang bersifat ilahi mengikat semua orang, baik yang dibaptis
maupun yang tidak dibaptis, sedangkan halangan yang bersumber dari hukum
gerejawi mengikat mereka yang dibaptis dalam Gereja Katolik atau yang diterima
di dalamnya (kanon 1059). Halangan yang bersumber dari hukum ilahi tidak bisa
didispensasi, sedangkan dari hukum gerejawi dapat didispensasi oleh otoritas
Gereja yang berwenang sesuai ketentuan yang berlaku.
D. Panggilan Dasar Keluarga Katolik
Menyambut
dan mencintai kehidupan
Berdasarkan
kodratnya, perkawinan terarah pada kelahiran anak. Anak yang telah dikonsepsi
harus dipelihara dan dirawat dengan penuh cinta sehingga anak yang merupakan
mahkota perkawinan dan buah cinta sungguh dapat tumbuh menjadi manusia yang
utuh. Melalui hal ini, suami-istri menjadi mitra Allah dalam menurunkan
kehidupan baru.
Dalam konteks
inilah keluarga menjadi temp at persemaian dan perlindungan hidup manusia. Di
tengah situasi dunia yang ditandai oleh kultur kematian, keluar ga kristiani
dipanggil untuk menjadi pencinta, perawat, penjaga, dan pembela kehidupan,
mulai dari konsepsi sampai pada kematian alamiah. Keluarga dipanggil untuk
menjadi pewarta Injil kehidupan, siap me'nerima kehadiran manusia baru dalam
kondisi apa pun. Hal ini penting direnungkan sebab dalam masyarakat yang
ditandai oleh kultur kematian, hidup manusia diukur dan dinilai berdasarkan
kualitas dan prestasi, sementara hidup orangorang yang menderita cacat bawaan,
penderita sakit tak tersembuhkan, usia lanjut, dianggap hanya sebagai beban
keluarga dan layak diakhiri. Maka, keluarga Katolik dipanggil untuk menjadi
pendukung Injil kehidupan (Evangelium Vitae) dengan gerakan Pro Life.
Berkaitan dengan
tugas dan misi keluarga untuk menjadi pembela kehidupan sejak dini, pasangan
suami-istri dalam mengusahakan kesejahteraan hidup bersama harus tetap
memperhatikan nilai-nilai moral sebagaimana diajarkan oleh Gereja selaku guru
iman dan moral sejati. Dalam hal ini, segala macam paksaan dan intimidasi yang
diarahkan kepada pasangan suami-istri Katolik untuk menggunakan alat-alat
kontrasepsi artifisial, baik yang sifatnya kontrakonsepsi maupun yang bersifat
abortif, dinilai melanggar kebebasan suara hati dan melanggar nilai-nilai
moral.
Panggilan pada
kebapaan dan keibuan yang bertanggung jawab menuntut pasangan suami-istri
Katolik untuk mengikuti ajaran moral yang benar. Hal ini semakin relevan untuk
dunia saat ini, tempat kita hidup dalam dunia yang ditandai oleh mentalitas
hedonis sehingga seksualitas dan hubungan mesra suami-istri (persetubuhan)
dipisahkan dari dimensi spiritual dan:makna yang sesungguhnya, yakni sebagai
ungkapan saling pemberian diri secara timbal balik. Dunia saat ini juga ditandai
oleh adanya pemisahan antara, kebebasan dengan kebenaran dan tanggung jawab.
Orang sekarang menuntut kebebasan mutlak: bebas untuk melakukan apa saja, bebas
dari norma moral, ,dan bebas dari tanggung jawab. Hal ini sudah meresap dalam
mentalitas sebagian besar orang, termasuk orang Katolik. Hubungan seksual
semata-mata hanya dilakukan untuk mencari kenikmatan, tanpa memahami hakikat
dan maknanya. Dalam situasi demikian, tidak jarang orang menganggap pasangan
hidupnya tidak lebih hanya sebagai objek pemuas nafsu seksnya. Dengan demikian,
manusia direduksi pada objek dan tidak diperlakukan sebagai subjek yang
bermartabat.
Menjadi
pendidik utama dan pertama
Orang tua
memiliki tugas dan tanggung jawab pertama dan utama dalam mendidik anak, dalam
bidang keagamaan, kesusilaan, seksualitas, kemurnian, budaya, dan kemasyarakatan.
Pendidikan meliputi dimensi kognitif (intelektual), afektif (emosi dan perasaan),
etika (nilai-nilai moral), dan estetika (nilai-nilai keindahan)
Dalam rangka memenuhi
tugas mendidik anak dalam bidang hidup keimanan, orang tua pertama-tama
dituntut memiliki pengalaman iman yang baik, menampilkan perilaku hidup yang
baik sebab anak akan lebih mudah mencontoh apa yang diperbuat orang tua.
Alangkah baiknya, setiap keluarga Katolik membiasakan diri untuk mengadakan doa
bersama, membaca, dan merenungkan Sabda Tuhan bersama. Oengan demikian,
keluarga menjadi Gereja mini. Keluarga menjadi kesatuan yang melambangkan
kesatuan dari ketiga Pribadi Ilahi: Bapa, Putra, dan Roh Kudus. Keluarga adalah
Gereja mini, tempat kesatuan bapak-ibu dan anak-anak menjadi komunitas iman
"di mana ada dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Ku, di situ Aku ada
di tengah-tengah mereka" (Mat 18:20). Oalam keluarga, seorang anak sungguh
dapat mengenal dan mengalami Allah. Oleh karena itu dalamkeluarga kristiani,
orang tua harus membiasakan diri mengadakan doa bersama, ikut dalam perayaan
ekaristi, menerima sakramen pengampunan secara teratur.
Untuk menjaga
kekudusan keluarga Katolik, rahmat sakramen perkawinan memberikan kekuatan
kepada pasangan suami-istri untuk saling menguduskan dan menyempurnakan. Di
samping itu, pasangan suami-istri Katolik dalam hidup sehari-hari hendaknya
menanamkan kesadaran dalam diri mereka dan dalam diri anak-anak untuk
merindukan dan secara teratur menyambut Sakramen Pengampunan Dosa. Dengan
demikian, kita tidak akan membiarkan kelemahan-kelemahan manusiawi menjadikan
kita budak dosa, tetapi dengan kerendahan hati, mau mendekatkan diri kepada
Allah Yang Maharahim. Kerahiman Allah ini mengatasi kedegilan dan
ketidaksetiaan manusia pada perjanjian yang telah dibuat dengan Allah.
Dalam keluarga,
seorang anak seharusnya juga mendapat pendidikan mengenai nilai-nilai moral.
Orang tua mempunyai tugas sangat berat untuk membentuk anak-anak yang sungguh
memiliki integritas moral. Untuk itu dalam keluaga, anak-anak dibiasakan
belajar membuat keputusan sendiri dan bertanggung jawab atas segala
perbuatannya. Hal ini tentunya dilakukan secara gradual sesuai dengan perkembangan
pemikiran dan pemahaman anak sebagaimana digambarkan dalam tingkat-tingkat
perkembangan moral menurut Lowrence Kohlberg: tingkat prakonvensional, tingkat
konvensional, dan tingkat pasca konvensional. Berkaitan dengan pendidikan moral
dan kesusilaan, orang tua harus menanamkan nilai-nilai luhur, penghormatan
terhadap nilai-nilai kehidupan, penghargaan terhadap sesama manusia yang
dimulai dalam lingkup keluarga.
Keluarga juga
menjadi tempat pertama dan utama dalam pendidikan kesetiakawanan dan semangat
sosial anak. Bagaimana orang tua menciptakan iklim yang kondusif yang
memungkinkan anak dapat saling berbagi dengan sesamanya, mau memperhatikan
kebutuhan orang lain, menumbuhkan semangat mau saling membantu dan melayani,
semangat rela berkorban, dan mau saling menghargai.
Orang tua juga
memiliki tugas dan tanggung jawab utama dan pertama dalam menyelengarakan
pendidikan seksualitas, cinta, dan kemurnian. Pendidikan seksualitas tentunya
harus diberikan secara gradual dan proporsional. Sekarang, bukan zamannya lagi
menganggap seks sebagai barang tabu. Pendidikan seksualitas ini sangat penting
untuk membantu pertumbuhan anak. Bagaimana orang tua memberi penjelasan
tentang perubahan-perubahan fisik dan psikologis yang dial ami oleh
putra-putrinya.
Terlibat
dalam misi perwartaan
Keluarga Katolik
juga mempunyai tugas untuk berpartisipasi dalam misi pewartaan Gereja yang
diterima dari Yesus Kristus, yaitu misi kenabian, keimanan, dan rajawi, melalui
penghayatan cinta kasih dalam seluruh perjalanan hidup mereka membangun
keluarga yang dijiwai oleh semangat pelayanan, pengorbanan, kesetiaan,
pengabdian, membagikan kekayaan rohani yang telah mereka terima dalam Sakramen
Perkawinan sebagai cerminan dari cinta Yesus Kristus kepada Gereja-Nya (lih. FC
50).
Terlibat
aktif dalam hidup bermasyarakat.
Dalam bidang
kemasyarakatan, otang tua mempunyai kewajiban untuk mengajarkan kepada
anak-anak dimensi sosial manusia. Anak dididik untuk memiliki jiwa dan
semangat solider, setia kawan, semangat berkorban, dan sehatisejiwa dengan
mereka yang berkekurangan. Pendidikan dimulai dalam keluarga. Anak dididik dan
dilatih untuk mau membagi apa yang dimiliki. Keluarga Katolik dipanggil untuk
terlibat aktif dalam membangun persaudaraan sejati (koinonia) yang didasari
cinta, keadilan, dan kebenaran.
E. Hak dan Kewajiban Suami-Istri dan Orang Tua
Suami dan istri
memiliki kewajiban dan hak yang sarna mengenai hal-hal yang menyangkut
persekutuan hidup pernikahan (lih. kanon 1135). Sebagai orang tua, mereka
berkewajiban berat, dengan sekuat tenaga mengusahakan pendidikan anak, baik
fisik, sosial, kultural, moral, maupun religius (lih.kanon 1136).
Hak-hak dasar keluarga
Keluarga sebagai
sel dasar masyarakat dan menjadi prasyarat adanya masyarakat. Oleh karena itu,
keluarga memiliki hak dasar untuk dilindungi keberadaannya oleh
masyarakat/negara. Setiap keluarga memiliki hak untuk mengembangkan diri dan
memajukan kesejahteraannya tanpa harus dihalangi oleh negara. Dalam hal-hal
tertentu, keluarga memiliki hak pribadi.
Keluarga
memiliki hak untuk hidup dan berkembang sebagai keluarga, artinya hak setiap
orang betapa pun miskinnya, untuk membantu keluarga serta memiliki upaya-upaya
yang memadai untuk menggunakannya.
Keluarga
memiliki hak untuk melaksanakan tanggung jawabnya berkenaan dengan penyaluran
kehidupan dan pendidikan anak-anak.
Keluarga memiliki hak untuk mendidik
anak-anak sesuai dengan tradisi-tradisi keluarga sendiri, dengan nilai-nilai
religius dan budayanya, dengan perlengkapan upaya-upaya serta lembaga-lembaga
yang dibutuhkan.
Setiap keluarga
yang miskin dan menderita memiliki hak untuk mendapat jaminan fisik, sosial,
politik, dan ekonomi.
Di samping itu,
orang tua juga harus memperhatikan dan menghormati martabat dan hak-hak anak.
Sebenarnya sudah dengan sendirinya, martabat pribadi manusia dikenakan pada
anak yang adalah manusia. Tetapi dalam kenyataan, sering kali martabat anak
kurang diperhatikan, misalnya dalam sikap orang tua yang memperalat anak untuk
tujuan, impian, dan obsesinya sendiri. Contohnya, memaksakan anak untuk
berprestasi demi gengsi orang tua sehingga anak merasa tertekan.
Menghormati
martabat anak dapat dikonkretkan dengan menghormati hak-hak asasi anak.
F. Tantangan Hidup Berkeluarga dan Solusinya
Tantangan
Tantangan dalam
membangun keluarga pada zaman sekarang dapat dikelompokkan ke dalam dua jenis
tantangan, yakni: tantangan internal dan eksternal. Yang dimaksud dengan
tantangan internal adalah apa yang berkaitan dengan pribadi-pribadi pasutri,
yakni menyangkut kedewasaan pasangan, baik secara intelektual, psikologis,
emosional, spiritual, maupun moral. Yang termasuk tantangan eksternal dapat
berupa keadaan masyarakat dunia dan intervensi pihak ketiga: mertua, saudara,
PIL, dan WIL. Konkretnya, tantangan tersebut berupa:
Mentalitas materialistis: kehausan dan
kerinduan untuk menumpuk kekayaan, uang, mengukur segalanya dengan materi,
bahkan anak pun dianggap sebagai investasi, bukan sebagai buah kasih sayang.
Relasi antarpasutri pun terpengaruh. "Ada uang abang kusayang, tidak ada
uang abang kutendang!"
Hedonisme .. menjadikan kenikmatan sebagai tujuan
segalanya, hubungan seksual pun hanya dipahami sebatas pemuas nafsu seks,
menjadikan pasangan (suami istri) sebagai objek pemuas insting dan dorongan
seksual.
Konsumerisme" keinginan untuk mengonsumsi
dipicu oleh kecanggihan teknologi periklanan yang begitu persuasif. Hal ini
menjadi faktor pemicu masalah dalam hubungan keluarga.
Utilitarisme :menilai sesuatu hanya berdasarkan segi
kegunaannya, bahayanya kalau memperlakukan istri-suami hanya karena kegunaan
dan fungsi.
Individualisme : mementingkan kepentingan dan
kesenangannya sendiri, tidak peduli orang lain, tidak ada kerelaan untuk
mengalah dan menyisihkan kepentingannya sendiri, untuk mendahulukan
kepentingan bersama. Akibatnya, setiap unsur dalam keluarga diabaikan.
Relativisme moral : tidak ada nilai yang diahut
dan diterima secara universal, semuanya serba relatif .. mengarah pada sikap
permisif, semua serba boleh.
Kesibukan mengejar karier .. tugas dan
tanggung jawab utama dalam keluarga diabaikan .. rumah hanya dijadikan losmen.
Dalam hal ini, pandangan tradisional tentang tugas dan panggilan luhur yang
dimiliki setiap wanita sebagai ibu dan istri, tetap relevan, tanpa
mengecualikan mereka untuk berpartisipasi dalam kegiatan ekonomi, sosial, dan
keagamaan.
Kesibukan antara suami-istri .. membawa dampak
negatif dalam kehidupan keluarga. Komunikasi antara pasutri renggang.
Komunikasi antara orang tua-anak renggang sehingga anak berbuat sesuatu yang
aneh-aneh di luar rumah: sekolah, lingkungan; menjadi pecandu narkoba.
Ketidaksetiaan ..
penyelewengan-perselingkuhan baik itu dilakukan oleh pihak suami maupun oleh
pihak istri (PIL dan WIL). Bagaimana sikap Anda dihadapkan pada ketidaksetiaan
dan pengkhianatan pasangan Anda?
Solusi
Dalam usaha
memelihara hidup bersama dalam keluarga, lebih-Iebih dalam situasi sulit,
mereka dianjurkan terus-menerus membangun sikap saling mengampuni, bukan
sebaliknya. Usaha pemulihan hidup bersama harus terus diperjuangkan terlebih
untuk mengatasi bahaya perceraian dalam hidup perkawinan, kasus perpisahan
dalam pernikahan (lih. kanon 1151-1153).
Untuk membangun satu kebersamaan hidup
yang saling membahagiakan, perlu diperhatikan adanya kejujuran dan keterbukaan
satu sarna lain, menciptakan kom'unikasi yang mendalam, komunikasi sampai ke
tingkat perasaan, saling mempercayai, semangat berkorban, kesediaan untuk
mendengarkan satu sarna lain, pengosongan diri (bdk. Flp 2:5-11), kerendahan
hati, kesetiaan, saling mengampuni, saling melayani (lihat perbuatan simbolik
Yesus mencuci kaki para rasul) , saling meneguhkan, saling menjaga nama baik.
Diusahakan
adanya correctio fraterna (saling. memberi masukan dalam sua sana persaudaraan)
antara suami-istri dan anak-anak, lalu ditutup doa bersama sebagai sarana untuk
membina hubungan antarpribadi dalam keluarga (bdk. Mat 18:1520).
Segala macam
persoalan yang menyangkut kebijakan suami-istri dan keluarga harus dibicarakan
bersama ada perencanaan bersama dan risiko atau keberhasilan ditanggung
bersama. Dalam hal ini, tidak akan ada saling lempar tanggung jawab (jangan
meniru Adam dan Hawa yang melemparkan tanggung jawab).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar